Jumat, 26 April 2013

POLITIK HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA


REVIEW 1

Abstrak
Dalam pembuatan peratuan perundang-undangan, politik hukum sangat penting. Keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahan implementasi peraturan perundang-undangan. Politik hukum Indonesia terbagi dua yaitu kebijakan dasar (basic policy) dan kebijakan pemberlakuan (enactment policy). Dalam proses pembentukan undang-undang kebijakan pemberlakuan sangat penting mengingat harus diterjemahkan kedalam undang-undang itu sendiri dan perumusan pasal. Dari penelitian yang dilakukan terhadap undang-undang bidang ekonomi, paling tidak, terdapat 14 ragam kebijakan pemberlakuan. Berdasarkan penelitian ini juga didapati bahwa ternyata lemahnya hukum di Indonesia tidak disebabkan semata-mata pada permasalahan yang ada dalam tahap implementasi, tetapi juga pada tahap pembentukan UU (law making process) yaitu tahap sebelum undang-undang diundnagkan.
A.    PENGANTAR
Peraturan perundang0undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara snegaja oleh institusi negara. Dalam konteks demikian peraturan peundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu.
Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan politik hukum sangan penting, palin g tidak, untuk dua hal. Pertama, sebagai alsan mengaoa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaannya peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat antara pelaksanaan peraturan perundangundangan harus adakonseistensi dan korelasi yang erat dengan apa yang ditetapkan sebagai politik hukum. Pelaksanaan UU tidak lain adalah pencapaian apa yang diikhtiarkan dalam politik hukum yang telah ditetapkan (furthering policy goals).
Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasa dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi demikian disebut sebagai “Kebijakan Dasar” atau dalam bahasa inggris disebut sebagai basic policy. Contoh dari kebijakan dasar adalah undang-undang (selanjutnya disingkat menjadi UU ). Pemilihan umum yang dibentuk dengan tujuan menjaikan individu sebagai perwakilan rakyat dalam lembaga legislatif. Undang-Undang Mahkamah Agung dibentuk dengan tujuan memberi landasan hukum bagi lembaga ini dan memberi legitimasi atas putusan yang dikeluarkan.
Dibidang hukum yang terkait dengan perekonomian, kebijakan dasar dari UU Hak Cipta adalah memberikn perlindungan bagi pencpt atas ciptaannya. Kebijakan Dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang sudah tidak mampu lagi membayar utangnya disamping memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali haknya dari debitur.
Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimeni ini disebut sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau dalam bahasa inggrisnya disebut sebagai  enactment policy. Keberadaan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di negara berkembang mengingat peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah atau penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif. Hal positif dari pengguna UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga negara, memperbaiki peekonomian dan lain sebagainya. Sementara yang bersifat negatif terjadi pada negara berkembang yang menganut pemerintahan otoriter atau diktatorial. UU dalam konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negatid dan bukan Rule of Law. Sebenernya ini bukan merupakan hal baru mengingat pada era kolonialisme dan imperealisme peraturan perundang-undangan kerap disisipi oleh pemerintah kolonial dengan kebijakan penjajahan (colonial policy) yang diberlakukan diwilayah jajahannya.
Tulisan ini hendak memfokuskan oada politik hukum dalam dimensi kebijakan pemberlakuan. Penelitian akan dilakukan akan dibatasi pada salah saty produk peraturan perundang-undangan yang di kenal di Indonesia, yaitu UU.
Pada awal tulisan akan diperdalam pembahasan tentang kebijakan pemberlakuan, selanjutnya akan diidentifikasikan beragam kebijakan permberlakuan UU di Indonesia. Utnuk keperluan tersebut sejumlah UU dianalisis. Hanya saja UU yang dianalisis dibatasi pada UU yang terkait dengan masalah ekonomi (selanjutnya disebut “UU Bidang Ekonomi”) yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rentang waktu 1990 hingga Agustus 2003.
Adapun UU bidang ekonomi yang dteliti meliputi UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen , UU Jasa Kontruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Telekomunikasi, UU Fudisia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Paten, UU Merek, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Anti Pencucian Uang, UU Hak Cipta, UU Ketenagalistrikan, UU Surat Utang Negara, UU Ketenagakerjaan, UU Keuangan Negara.
Setelah diuraikan beragam kebijakan pemberlakuan, tulisan ini juga hendak mengungkap berbagai permasalahan yang terkait dnegan politik hukum dalam tahap pembentukan UU. Pengungkapan ini penting karena penulis berpendapat bahwa penyebab dari tidak berjalannya UU tidak semata-mata bersumber pada permasalahan yang ada dalam tahap penegakan hukum, tetapi juga brsumber pada permasalahan yang muncul dalam tahap pementukan hukum (law making process).
B. KEBIJAKAN PERMBERLAKUAN
Undang-Undang Pemilihan Umum disamping mengatur tentang bagaimana seorang individu dapat mewakili rakyat dalam lembaga legislatif, bisa juga ditujukan untuk memberi legitimasi adanya demokrasi disuatu negara yang memiliki pemerintahan otoriter dan diktorial. Tujuan dan alsan demikian merupaan politik hukum dalam dimensi kedua, yaitu kebijakan pemberlakuan.
Kebijakan pemberlakuan juga ditemua dalam UU yang terkait dengan masalah perekonomian. UndangUndang Hak Cipta dibentuk tidak sekedar untuk melindungi pencipta atas hasil ciptaannya, tetapi juga untuk memberi iklim investasi yang kondusif bagi investor asing. Amandemen terhadap UU Kepailitan dilakukan tidak sekedar untuk memenuhi kebijakan dasar tetapi juga ynuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh lembaga keuangan Internasional. Uu Persaingan Usaha dibentuk disamping memenuhi kebijakan dasarnya juga dimaksudkan untuk membuka pasar yang tertutup dari suatu negara karena pasar tersebut didominasi oleh pelaku usaha yang dekat dengan elit politik.
Kebijakan pemberlakuan memiliki muatan plitis. Dikatakan demikian karena kebijakan pemberlakuan UU pada dasarnya sangat bergantung pada apa yang diinginkan oleh pembuat UU. Ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif lebih netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembuatan UU tertentu.
Kebijakan pemberlakuan adalah faktor yang menyebabkan substansi dari suatu UU berbeda antara satu negara dengan negara lainnya meskipun memiliki tujuan dasar dan nama yang sama. Indonesia, Belanda, Jepang memiliki UU Kepailitan tetapi substansi UU Kepailitan Indonesia berbeda dengan UU Kepailitan Belanda atau Jepang.
Dalam suatu negara, institusi yang memiliki kekuasaan untuk emmebentuk UU merupakan pihak akhir yang menentukan apa yang menjadi kebijakan permberlakuan suatu UU. Hanya saja dalam menetapka kebijakan pemberlakuan institusi yang membentuk UU kerap dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fakto ini dapat digolongkan dalam dua katagori. Pertama adalah faktor yang berasal dari dalam negeri (selanjutnya disebut faktor internal)dan, kedua adalah faktor yang berasal dari luar negeri (selanjutnya disebut faktor eksternal).
Faktor internal bisa berasal dari keinginan individu yang memegang kekuasaan membentuk UU, keinginan pasrtai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat, bahkan ekinginan masyarakat. Sementara faktor eksternal dapat berasal dari keinginan lembaga keuangan internasional, keinginan dari negara donor, bahkan kewajiban diatur dalam suatu perjanjian Internasional.
Kebijakan pemberlakuan dalam suatu UU bisa lebih dari satu. Ini berbeda dengan kebijakan dasar yang hanya satu. Kebijakan permberlakuan, sama seperti juga kebijakan dasar, harus diterjemahkan dalam bentuk UU, perumusan pasal atau keduanya.
Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar