REVIEW 1
Abstrak
Dalam
pembuatan peratuan perundang-undangan, politik hukum sangat penting. Keberadaan
peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara
politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut
dalam tahan implementasi peraturan perundang-undangan. Politik hukum Indonesia
terbagi dua yaitu kebijakan dasar (basic
policy) dan kebijakan pemberlakuan (enactment
policy). Dalam proses pembentukan undang-undang kebijakan pemberlakuan
sangat penting mengingat harus diterjemahkan kedalam undang-undang itu sendiri
dan perumusan pasal. Dari penelitian yang dilakukan terhadap undang-undang
bidang ekonomi, paling tidak, terdapat 14 ragam kebijakan pemberlakuan.
Berdasarkan penelitian ini juga didapati bahwa ternyata lemahnya hukum di
Indonesia tidak disebabkan semata-mata pada permasalahan yang ada dalam tahap
implementasi, tetapi juga pada tahap pembentukan UU (law making process) yaitu tahap sebelum undang-undang diundnagkan.
A. PENGANTAR
Peraturan
perundang0undangan (legislation)
merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara snegaja oleh institusi negara.
Dalam konteks demikian peraturan peundang-undangan tidak mungkin muncul secara
tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan
tertentu.
Tujuan
dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam.
Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan
disebut sebagai politik hukum (legal
policy). Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan politik hukum sangan
penting, palin g tidak, untuk dua hal. Pertama,
sebagai alsan mengaoa diperlukan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Kedua, untuk
menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi
perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaannya peraturan
perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan antara politik hukum
yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat antara pelaksanaan
peraturan perundangundangan harus adakonseistensi dan korelasi yang erat dengan
apa yang ditetapkan sebagai politik hukum. Pelaksanaan UU tidak lain adalah
pencapaian apa yang diikhtiarkan dalam politik hukum yang telah ditetapkan (furthering policy goals).
Politik
hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum
yang menjadi alasan dasa dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi demikian disebut sebagai
“Kebijakan Dasar” atau dalam bahasa inggris disebut sebagai basic policy. Contoh dari kebijakan
dasar adalah undang-undang (selanjutnya disingkat menjadi UU ). Pemilihan umum
yang dibentuk dengan tujuan menjaikan individu sebagai perwakilan rakyat dalam
lembaga legislatif. Undang-Undang Mahkamah Agung dibentuk dengan tujuan memberi
landasan hukum bagi lembaga ini dan memberi legitimasi atas putusan yang
dikeluarkan.
Dibidang
hukum yang terkait dengan perekonomian, kebijakan dasar dari UU Hak Cipta
adalah memberikn perlindungan bagi pencpt atas ciptaannya. Kebijakan Dasar UU
Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang sudah tidak mampu lagi
membayar utangnya disamping memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali
haknya dari debitur.
Dimensi
kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik
pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik
hukum dalam dimeni ini disebut sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau dalam
bahasa inggrisnya disebut sebagai enactment policy. Keberadaan kebijakan
pemberlakuan sangat dominan di negara berkembang mengingat peraturan
perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah atau
penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif. Hal positif
dari pengguna UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan
politik warga negara, memperbaiki peekonomian dan lain sebagainya. Sementara
yang bersifat negatif terjadi pada negara berkembang yang menganut pemerintahan
otoriter atau diktatorial. UU dalam konsep ini dijadikan semacam legitimasi
bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule
by Law dalam pengertian negatid dan bukan Rule of Law. Sebenernya ini bukan merupakan hal baru mengingat pada
era kolonialisme dan imperealisme peraturan perundang-undangan kerap disisipi
oleh pemerintah kolonial dengan kebijakan penjajahan (colonial policy) yang diberlakukan diwilayah jajahannya.
Tulisan
ini hendak memfokuskan oada politik hukum dalam dimensi kebijakan pemberlakuan.
Penelitian akan dilakukan akan dibatasi pada salah saty produk peraturan
perundang-undangan yang di kenal di Indonesia, yaitu UU.
Pada
awal tulisan akan diperdalam pembahasan tentang kebijakan pemberlakuan,
selanjutnya akan diidentifikasikan beragam kebijakan permberlakuan UU di
Indonesia. Utnuk keperluan tersebut sejumlah UU dianalisis. Hanya saja UU yang
dianalisis dibatasi pada UU yang terkait dengan masalah ekonomi (selanjutnya
disebut “UU Bidang Ekonomi”) yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rentang
waktu 1990 hingga Agustus 2003.
Adapun
UU bidang ekonomi yang dteliti meliputi UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal,
UU Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU
Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen , UU Jasa Kontruksi, UU Bank
Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Telekomunikasi, UU Fudisia, UU Rahasia
Dagang, UU Desain Industri, UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Paten, UU
Merek, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Anti Pencucian Uang, UU Hak Cipta, UU
Ketenagalistrikan, UU Surat Utang Negara, UU Ketenagakerjaan, UU Keuangan
Negara.
Setelah
diuraikan beragam kebijakan pemberlakuan, tulisan ini juga hendak mengungkap
berbagai permasalahan yang terkait dnegan politik hukum dalam tahap pembentukan
UU. Pengungkapan ini penting karena penulis berpendapat bahwa penyebab dari
tidak berjalannya UU tidak semata-mata bersumber pada permasalahan yang ada
dalam tahap penegakan hukum, tetapi juga brsumber pada permasalahan yang muncul
dalam tahap pementukan hukum (law making
process).
B. KEBIJAKAN PERMBERLAKUAN
Undang-Undang
Pemilihan Umum disamping mengatur tentang bagaimana seorang individu dapat
mewakili rakyat dalam lembaga legislatif, bisa juga ditujukan untuk memberi
legitimasi adanya demokrasi disuatu negara yang memiliki pemerintahan otoriter
dan diktorial. Tujuan dan alsan demikian merupaan politik hukum dalam dimensi
kedua, yaitu kebijakan pemberlakuan.
Kebijakan
pemberlakuan juga ditemua dalam UU yang terkait dengan masalah perekonomian.
UndangUndang Hak Cipta dibentuk tidak sekedar untuk melindungi pencipta atas
hasil ciptaannya, tetapi juga untuk memberi iklim investasi yang kondusif bagi
investor asing. Amandemen terhadap UU Kepailitan dilakukan tidak sekedar untuk
memenuhi kebijakan dasar tetapi juga ynuk memenuhi persyaratan yang diminta
oleh lembaga keuangan Internasional. Uu Persaingan Usaha dibentuk disamping
memenuhi kebijakan dasarnya juga dimaksudkan untuk membuka pasar yang tertutup
dari suatu negara karena pasar tersebut didominasi oleh pelaku usaha yang dekat
dengan elit politik.
Kebijakan
pemberlakuan memiliki muatan plitis. Dikatakan demikian karena kebijakan
pemberlakuan UU pada dasarnya sangat bergantung pada apa yang diinginkan oleh
pembuat UU. Ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif lebih netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembuatan UU tertentu.
Kebijakan
pemberlakuan adalah faktor yang menyebabkan substansi dari suatu UU berbeda
antara satu negara dengan negara lainnya meskipun memiliki tujuan dasar dan
nama yang sama. Indonesia, Belanda, Jepang memiliki UU Kepailitan tetapi
substansi UU Kepailitan Indonesia berbeda dengan UU Kepailitan Belanda atau
Jepang.
Dalam
suatu negara, institusi yang memiliki kekuasaan untuk emmebentuk UU merupakan
pihak akhir yang menentukan apa yang menjadi kebijakan permberlakuan suatu UU.
Hanya saja dalam menetapka kebijakan pemberlakuan institusi yang membentuk UU
kerap dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fakto ini dapat digolongkan dalam dua
katagori. Pertama adalah faktor yang berasal dari dalam negeri (selanjutnya
disebut faktor internal)dan, kedua adalah faktor yang berasal dari luar negeri
(selanjutnya disebut faktor eksternal).
Faktor
internal bisa berasal dari keinginan individu yang memegang kekuasaan membentuk
UU, keinginan pasrtai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat, bahkan
ekinginan masyarakat. Sementara faktor eksternal dapat berasal dari keinginan
lembaga keuangan internasional, keinginan dari negara donor, bahkan kewajiban
diatur dalam suatu perjanjian Internasional.
Kebijakan
pemberlakuan dalam suatu UU bisa lebih dari satu. Ini berbeda dengan kebijakan
dasar yang hanya satu. Kebijakan permberlakuan, sama seperti juga kebijakan
dasar, harus diterjemahkan dalam bentuk UU, perumusan pasal atau keduanya.
Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar