Jumat, 26 April 2013

POLITIK HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA

REVIEW 3


D.      MASALAH DALAM MENERJEMAHKAN POLITIK HUKUM KEDALAM PRODUK HUKUM

Keberhasilan dalm menerjemahkan politik hukum akan berpengaruh dalam tahap implementasi dari UU dan pasal-pasalnya. Dari hasil penelitian terhadapa UU bidang ekonomi ternyata lemahnya hukum di Indonesia tidak disebebkan semata-mata pada permasalahan yang ada dalam tahap implementasi. Permasalah juga muncul pada tahap pembentuan UU (law making process). Tahap ini adalah tahp sebelum UU diundangkan. Berikut akan dibahas beberapa permasalahan yang muncul.

A.  Konflik Penentu Politik Hukum dalam Pembuatn UU

Sumber permasalahan pertama yang dapat diidentifikasikan adlah adanya ketidak tegasan pembentuk UU dalam penentu hukum, terutama Kebijakan Pemberlakuan. Ini terjadi bila antara Presiden dan DPR terjadi ketidaksesuaian, bahkan sering pula terjadi di tingkat departemen pada saat rancangan UU dipersiapkan. Ketidaktegasan juga terjadi pada tingkat fraksi yang ada dalam DPR. Sulitnya menentukan politik hukum karena adanya perbedaan kepentingan. Contoh kongkrit adalah UU Ketenagakerjaan dimana terddapat pertentangan kepentingan yang berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Merespons kebutuhan masyarakat iklim yang kondusif bagi investasi.

Dalam hal ini ketidaksesuaian dalam penentu politik maka pembentuk UU menyelasikan melalui dua cara. Pertama adalah dengan cara penentu pemenang. Apabila ketidaksesuaian terjadi antara presiden dan DPR maka ini sangat berganung dari tarik ulur ini. Artinya rakyat menjadi tolak ukur untuk menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Apabila ketidaksesuaian terjadi dilingkungan eksekutif maka penentu kebijakan pemberlakuan akan diserahkan kepada presiden. Sementara ketidaksesuaian yang terjadi ditingkat fraksi, pemungutan suara yang akan menyelesaikan.

Cara kedua untuk mencapai kesepakatan pada suatu ketidaksesuaian adalah dengan membuat perumusan oasal yang menampung semua keinginan. Cara inilah yang sering berlaku dalam pembuatan UU dan perumusan pasalnya di Indonesia.

Penggunaan cara kedua sebenarnya berdampak kurang baik dalam tahap implementasi. Pertama, pasal yang bersifat kompromistis merupakan pasal yang mengambang. Pasal demikian sulit untuk dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum. Ujung-ujungnya pasal mengambang akan sangat ditentukan oleh penafsiran dari aparat penegak hukum dilapangan. Bila diserahkan kepada pelaksana UU ini akan berakibat pada tidak adanya kepastian hukum. Pelaksana UU akan menafsirkan sesuai dengan kepentingannya. Bahkan bukan tidak mungkin ini dijadikan sarana untuk melakukan tindakan tidak terpuji, seperti pemerasan dan korupsi. Disamping itu perumusan pasal yang mengambang sangat tidak konsisten dengan sistem kodifikasi yang dianut oleh Indonesia. Sistem kondifikasi mensyaratkan perumusan pasal yang sangat elaboratif dan jelas sehingga tidak memerlukan interpretasi dari pelaksana UU.

Kedua kompromi juga dilakukan dengan cara menyerahkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Praktik ini seolah memberi cek kosong kepada presiden untuk bebas menafsirkan keberlakuan suatu ketentuan dalam UU berdasarkan peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Bahkan, penyerahan keperaturan perundang-undangan yang lebih rendah bukannya menyelesaikan masalah tetapi menambah masalah mengingat peraturan pemerintah kadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dikeluarkan.
Ketidaksesuain juga dapat memunculkan tidak konsistensinya antara politik hukum yang ditetapkan dan terjemahnya dalam bentuk perumusan pasal. Ini terjadi bila ada pertentangan antara kebijakan pemberlakuan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. UU atau perumusan pasal memang dibuat tetapi UU tersebut tidak dimaksudkan untuk berlaku dalam kenyataan.

Contoh yang mungkin bisa dikemukakan adalah UU Anti Pencucian Uang. Munculnya UU Anti Pencucian Uang lebih dipicu oleh kebutuhan faktor ekstrenal dari pada faktor internal. Dapat dikatan pembentuk UU tidak melihat urgensi bagi Indonesia intuk memiliki UU ini, bahkan merasa tidak ditekan untuk mengeluarkannya. Tidak heran bila UU dibentuk tetapi pada saat diberlakukan tidak dapar diimplementasikan. Indikasi yang mengarah hal tersebut adalah penetapan batasan uang yang patut dicurigai sebagai uang hasil kejahatan yaitu sebesar RP 500 juta. Jumlah ini terlalu besar sehingga menjadikan UU Anti Pencucian Uang tidak efektif untuk diimplementasikan. Di sini seolah Indonesia sekedar mengikuti apa yang dikehendaki oleh faktor ekstrenal tetapi secara nyata tidak mengikutinya.

Masalah lain dalam pembuatan UU terkadang kebijakan dasar harus dikalahkan oleh kebijakan pemberlakuan. Ini berakibat UU yang dibentuk menjadi aneh bila dibandingkan dengan UU serupa diluar negeri. Contoh paling kongkrit adalah UU Kepailitan. Dalam UU Kepailitan, persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan hanya ada dua, yaitu apabila terdpat dua utang dan salah satunyatelah jatuh tempo. Apabila ini yang menjadi rujukan maka meskipun seseorang atau suatu perusahaan dalam keadaan sehat tetapi karena sesuatu alasan tidak mau membayar utang kepada krediturnya maka perusahaan tersebut bisa dimintakan untuk pailit.

Pernyataan muncul, apakah memng benar perusahaan yang sehat bisa dipailitkan karena ia memiliki utang lebih dari satu dan salah satunya telah jatuh tempo? Jelas persyaratannya yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) sangat bertentangan dengan Kebijakan Dasar UU Kepailitan. UU Kepailitan secara umum digunakan bagi debitur yang berada dalam keadaan tidak ada lagi mampu membayar utang. Apabila demikian, pernyataannya menagapa perancang UU Kepailitan membuat sedemikian rupa? Dugaan jawaban atas pernyataan ini adalah karena pada saat itu ada keinginan dari IMF atau pihak yang mempengaruhi IMF untuk memudhkan kreditur asing melakukan proses kepailitan. Ini didasarkan pada kenyataan utang jangka pendek swasta Indonesia kepada kreditur asing per Desember 1997 sejumlah sekitar US$ 82 miliar. Bila utang ini jatuh tempo dan tidak terbayarkan sementara mekanisme kepailitan yang ada tidak memungkinkan secara mudah kreditur mendapatkan kembali investasinya ini diperkirakan akan menggangu stabilitas perekonomian Indonesia dan lebih penting adalah kepentingan dari para kreditur asing.

Kebijakan oemberlakuan berupa perlindungan terhadap investor atau kreiditur asing dianggap lebih pentng daripada kebijakan dasae sehingga tercermin dalam Pasal 1 (1). Sayangnya, polotik hukum ini tidak iikuti oleh aparat aspek hukum. Para hakim menentang pemberlakuan tersebut. Mereka mengkhawatirkan  bahwa dengan proses kepailitan yang akan terjadi adalah meindahkan aset milik Indonesia menjadi milik asing. Belum lahi lembaga peradilan yang bisa dimanipulasi sedemikan rupa. Ujung-ujungnya pasal 1 (1) meskipun telah mencerminkan kebijakan pemberlakuan yang diinginkan namun gagal dalam implementasinya.

Anehnya kini UU Kepailitan lebih populer digunakan untuk memaksa pihak yang karena datu dan lain hal dianggap berutang utnuk membayar utangnya. UU Kepailitan lebih diguanakan untuk memaksa debitur membayar utang meskipun debitur tersebut dalam posisi sehat. Jelas ini tidak sesuai dengan kebijakan dasar dari UU Kepailitan berupa membebaskan debitur yang sudah tidak lagi dapat membayar utangnya dan memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali haknya dari debitur.

Bahkan, pertikaian antara pemegang saham bisa berujung pada proses kepailitan seperti kasus yang menerpa PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI). Demikian pula dengan pemutusan kontrak, seperti permohonan pailit PT Unilever Indonesia Tbk. (Unilever). Perkara lain adalah masalah wanprestasi yang berujung pada permohonan kepailitan, seperti permohonan pailit PT Monderland Realty Tbk. (Monderland) dan PT Indonesia Airlines Avipatira (Indonesian Airlines).

B. Kekurangan Perancangan UU

Perancangan UU meiliki peran sangat penting dalam memastikan agar politik hukum dapat diimplementasika pada saat UU berlaku. Cara memastikan ini adalah dengan merumuskan politik hukum ke dalam perumusan pasal dan ayat sejelas dan seakurat mungkin.

Apabila politik hukum telah ditetapkan maka menjadi tugas dari perancangan UU untuk menuangkan politik hukum tersebut kedalam bentuk perautran perundang-undangan dan kalimat-kalimat hukum. Sebagai contoh apabila telah ditetapkan dalam UU Pasar Modal hendak dimuat ketentuan modern, seperti Good Corporate Governance, tugas perancang adalah bagimana konsep tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pasal yang operasional. Perumusan pasal sangat penting mengingat aparat penegak hukum nantinya tidak akan merujuk pada konsep melainkan melihat pada perumusan pasal.

Beberapa kelemahan UU bidang ekonomi terjadi pada saat konsep tertentu hendk dijadikan kalimat hukum. Alasan yang menjadi pemico ada beberapa, di antaranya ketidakcukupan waktu, perancangam UU tidak memahami sepenuhnya kebijakan dasar maupun pemberlakuan dari UU yang hendak dirancang atau kurang cermat dalam merumuskan pasal, bahkan pemahaman yang kurang baik dari perancang terhadap suatu konsep juga ditenggarai sebagai penyebab. Kelemahan ini berakibat pada perumusan pasal yang berlainan dengan politik hukum yang diinginkan.

Bila terjadi hal ini dapat berakibat fatal karena pada waktu diimplementasikan UU tersebut tidak operasional atau bisa secara “bebas” digunakan oleh para aparat penegak hukum. Upaya untuk memperkecil kemungkinan ini adalah dengan memberikan penjelasan baik di penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Sayangnya penjelasan, sebagaimana yang sering dikritik, bukannya memberi penjelasan tetapi justru menimbulkan kebingungan. Bahkan dalam beberapa hal penjelas justru meruduksi atau memperluas apa yang diatur dalam pasal.

Perumusan ppasal yang tidak mereflesikan politik hukum tidak semata-mata bisa ditimpakan pada perancangan UU. Kurang akuratnya perumusan pasal juga disebebkan karena anggota DPR yang kadang turut dalam perumusan pasal. Intervensi anggota DPR tidak bisa ditolak oleh perancang profesional mengingat kedudukan dari perancang yang lebih infertor dari anggota DPR.

Anggota DPR tidak semestinya turut dalam perumusan pasal mengingat dibutuhkan keahlian tersendiri untuk bisa menjadi perancangan peraturan perundang-undangan. Tugas dari para anggota DPR adalah menangkap aspirasi dan mengambil keputusan sehubungan dengan politik hukum yang akan dimuat dalam UU.

Kurang akuratnya dalam merumuskan pasal, dalam tahap pelaksanaan berakibat pada pengkait-kaitan pasal terhadap suatu kasus yang tidak memiliki relevansi dengan kebijakan dasar. Misalnya saja dalam kasus pidana sehubungan dengan nama domain mustikaratu.com. penuntut umum menggunakan pasal 19 huruf UU Persaingan Usaha untuk menjerat perbuatan curang. Penggunaan pasal ini sebenarnya tidak tepat mengingat yang menjadi sengketa tidak terkait dengan masalah perilaku pelaku usaha dalam kaitan dengan pangsa pasar. Sementara perbuatan curang dalam kasus Mustika Ratu adalah perbuatan curang satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain tapa mempunyai keterkaitan langsung dengan pasar. Ini yang diatur dalam Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kelemahan lain adalah perancang UU tidak memperhatikan infrastuktur pendukung pada saat menterjemahkan kebijakan pemberlakuan kedalam UU. Pembuatan UU seolah dilakukan bukan dalam alam ataupun konteks Indonesia. Ini dapat terjadi karena tiga hal. Pertama, bila perancang UU atau mereka yang menentukan arah UU beranggapan UU dapat menyelesaikan suatu maslah dengan membuat pasal yang bertentangan dengan apa yang terjadi dimasyarakat. Kedua, pembuatan UU tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik, mulai dari kajian terhadap infrastuktur pendukung hingga mengantisipasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaanya. Ketiga, infrastuktur pendukung terabaikan bila rancangan awal UU dibuat oleh ahli dari luar yang tidak berlalu paham dengan kondisi Indonesia.

E.       PENUTUP


Politik hukum di Indonesia dapat dibedakan dalam dua dimensi, yaitu kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan. Kebijakan pemberlakuan merupakan dimensi politik hukum yang sering dilupakan. Dalam proses pembentukan UU kebijakan pemberlakuan sangat penting mengingat harus diterjemahkan ke dalam UU itu sendiri dan perumusan pasal.

Dari penelitian yang dilakukan terhadap UU bidang ekonomi, paling tidak, ada 14 ragam kebijakan pemberlakuan. Dari kesebelas ragam kebiajakn pemberlakuan ini, dua lebih bertujuan untuk memnuhi formalitas, yaitu demi tujuan pembangunan nasional dan merespons kebutuhan masyarakat.

Berbagai permasalahan yang timbul dalam tahap pembentuk UU telah terbukti sebagai penyebab dari kurang berjalannya hukum di Indonesia sebagaimana yang diharapkan. Pembenahan perlu dilakukan tidak saja pada tahap pembuatan UU, utamanya yang terkait dengan kebijakan pemberlakuan.


Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012

POLITIK HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA


REVIEW 2

C. RAGAM KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN UU BIDANG EKONOMI

Dalam penelitian atas UU bidang ekonomi maka paling tidak ada 14 (empat belas) kebijakan pemberlakuan. Dari keempat belas tersebut, 9 (sembilan) kebijakan pemberlakuan masuk dalam katagori faktor internal dan 5 (lima) masuk dalam katagori faktor eksternal. Berikut akan dibahas satu persatu keempat belas kebijakan pemberlakuan tersebut.

1.      Faktor Internal

Di Indonesia kebijakan pemberlakuan UU yang dipengaruji oleh faktor internal kerap dijadikan alasan filosofis atau sosiologis dari pembentukan UU. Umumnya kebijakan pemberlakuan ini dapat dilihat secara eksplisit dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum.

Perumusan kebijakan pemberlakuan yang termaktub dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum dibuat dengan menggunakan kalimat yang sangat panjang dan berisi lebih dari satu pokok pikiran. Bahkan, perumusan kalimat bersifat hiperbolis dengan menggunakan katalata yang meiliki pengertian yang sangat luas dan abtrak.

a.        Mencapai Tujuan Pembangunan Nasional

Dalam UU bidang ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkan diberlakukan suatu UU aladah dalam rangka pembangunan nasional. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penyebutan ini dimulai sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1950 hingga permulaan 1980-an penyebutan pemberlakuan UU Bidang Ekonomi karena pembangunan nasional hanya dilakukan apabila ada keterkaitan yang erat dengan apa yang hendak diatur, semisal UU Penanaman Modal Asing.

Kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional secara kritis dapat dipertanyakan. Apakah pencantuman pembagunan nasional dalam pembentukan UU bidang ekonomi merupakan suatu keharusan ? Apakah penyebutan dilakukan karena Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang dalam proses membangun ? apanila demikian buknkah tanpa pembangunan nasional sekalipun, Indonesia akan tetap membutuhkan UU ? Selanjutnya, bukankah berbagai UU dapat dibentuk dengan alasan pembangunan nasional ?

Berbagai pertanyaan ini pada akhirnya akan menjurus pada kesimpulan bahwa kebijakan pemberkaluan berupa pembangunan nasional dicantumkan tidak lain sebagau suatu formalitas belaka. Ini hampir sama seperti pasa suatu ketika setiap UU yang dikeluarkan mencantumkan kata revolusi.

Sudah saatnya dalam pembentukan UU bisang ekonomi ke depan kebijakan permberlakuan berupa pembangunan nasional tidak lag dicantumkan. Ini untuk menghindari penyebuta pembangunan nasional sebagai sesuatu yang sakral meskipun tanpa makna. Terlebih lagi mengingat kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional tidak perlu dicerminkan dalam bentuk perumusan pasal.

b.        Menggantikan Ketentuan yang Telah Usang

Kebijakan oemberlakuan yang berikutnya adalah dalam rangka menggatu ketentuan yang telah usang. Penggantian ketentuan yang usang dilakukan baiik terhadao ketebtuan produk pemerintahan kolonial maupun ketentuan pasca-Indonesia merdeka.

Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU Arbirase, UU Kepailitan, UU Hak Tnggungan, dan UU Fidusa merupakan UU Bidang Ekonomi yang bertujuan menggantikan UU produk kolonial. Sementara UU Pasar Modal, UU Bank Indonesua, UU Merek, UU Paten, dan UU Hak Cipta merupakan UU yang bertujuan untuk menggantikan produk hukum pasca-Indonesia merdeka

Ketentuan usang yang digantikan dapat berbentuk UU, dapat pula berbentuk pasal dalam suatu UU. UU Pasae Modal tahun 1996 misalnya menggantikan UU Bursa tahun 1952. Sementara UU Perseroan Terbatas menggantikan pasal 36 hingga 56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Udangnya ketentuan dapat disebebkan karena tidak sesuai dengan perkembangan yang ada, etepai dapat juga karena perubahan kemdasar dari suatu sistem yang berlaky Undang-Undang Arbitrase, UU Lalu Lintas Devisa, UU Merek, UU Migas, UU Kepailitan, UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya menyebutkan secara tegas diberlakukan UU tersebut karena alasan tidak sesuai dengan perkembangan. Sementara UU Bank Indonesia masuk dalam katagori UU yng mengganti ketentuan sebelumnya karena perubahan mendasar dari sistem yang ada.

Kebijakan pemberlakuan berupa mengganti ketentuan yang usang sangat terefleksi dalam perumusan pasal berbagai UU bidang ekonomi. Bila dibuat secara jelas perbedaan antara ketentuan yang lama dengan ketentuan yang baru.

c.         Merespon Kebutuhan Masyarakat

Merespon kebutuhan masyarakat merupakan kebijakan pemberlakuan yang sering disebut dalam berbagai UU bidang ekonomi. Dalam konsiderans menimbang maupun penjalasan umum kebanyakan UU bidang ekonomi menyebutkan bahwa UU yang dibentuk bertujuan untuk merespons kebutuhan masyarakat atau dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.

Sayangnya kebijakan pemberlakuan ini terkesan sebagai formalitas belaka daripada sungguh-sungguh merespon kebutuhan masyarakat. Kesan ini didasarkan pada beberapa indikasi.

Pertama, mayoritas masyarakat terkadang tidak merasa memiliki kebutuhan yang demikian besar sehingga memerlukan suatu UU bidang ekonomi. Bahkan, masyarakat mustahil dapat secara langsung menikmati berbagai keuntungan dari UU yang dibuat. Sebagai contoh dalam UU Rahasia Dagang meskipun disitu jelas-jelas disebut demi kepentingan masyarakat namun menjadi pertanyaan bessar apakah masyarakat memang memerlukannya?

Kedua, penggunaan istilah masyarakat sangat kabur. Mungkin saja pembuat UU hanya memfokuskan pada masyarakat yang jumlahnya tidaklah mayoritas. Ada kecenderungan pembuat UU bila memikirkan masyarakat, masyarakat yang mereka maksud terbatas pada masyarakat di Jakarta atau kota-kota besar.

Indikasi lain adalah dalam kebijakan pemberlakuan pada UU yang memiliki sensitifitas politik yang tinggi kerap ada pertentangan di masyarakat tentang apa yang dimaksud kebutuhan masyarakat. Udang-undang Ketenagakerjaan merupakan salah satu contohnya. Kaum pekerja berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan asosiasi pengusaha. Dalam ondisi seperti ini, pemerintah berada pada posisi ditengah-tengah yang harus mengakomodasi dua kepentingan yang berada ekstrim. Konsukuensinya adalah UU dapat dianggap sebagai kompromi antara dua kepentingan berbeda atau UU tersebut ditolak keberadaannya. Dalam UU Ketenagakerjaan yang baru disahkan konsukuensinya terakhirlah yang terjadi.

Dalam konteks ini yang menjadi pertanyaan adalah masyarakat mana yang dimaksud oleh UU Ketenagakerjaan?

Tantangan kedepan dalam kebijakan pemberlakuan berupa merespons kebutuhan masyarakar adalah penggunaan yang selektif atas istilah “masyarakat”. Dengan dmeikian pencantuman pmerespons kebutuhan masyarakat tidak sekedar memenuhi formalitas belaka.

d.        Memenuhi Keinginan Memiliki Hukum Modern

Kebijakan pemberlakuan UU bidang ekonomi selanjutnya adalah dalam rangka memenuhi keinginan Inonesia untuk memiliki hukum modern. Kebijakan pemberlakuan ini meskipun sekolas sama dengan mengganti ketentuan usang namun keduanya harus dibedakan. Menggantikan ketentuan yang usang adalah keadaan dimana sudah ada ketentuan tetapi keuntungan tersebut dianggap tidak memadai lagi. Sementara memenuhi hasrat memiliki hukum modern adalah suatu kondisi di mana sebelumnya belum ada pengaturan di bidang tersebut.

Harus diakui bahwa hukum modern tidak lain adalah hukum dikenal di AS ataupun lain di sejumlah negara Eropa. Hukum modern bukanlah hukum yang sama sekali baru namun merupakan UU yang secara nyata dibutuhkan pada masyarakat industri.

Dalam masyarakat industri, kegiatan berupa perbankan, pasar modal, transaksi surat utang negara dan lain sebagainya mensyaratkan infrastuktur hukum yang khusus. Sebagai konsukuensinya semakin sebuah negara berorientasi pada industri maka semakin negara tersebut membutuhkan infrastuktur hukum yang modern.
Dalam konteks demikian, Indonesia yang sedang berproses menuju ke negara industri mau tidak mau membutuhkan berbagai hukum yang lebih dahulu dikenal di AS maupun Eropa ke alam Indonesia.

Kebijakan omberlakuan dari keinginan memiliki hukum modern diwujudkan dlam bentuk diberlakukannya suatu UU ataupun dimasukkannya ketentuan baru dalam bentuk pasal dari UU yang telah ada. Contoh dari UU Perlindungan Konsumen, UU Persaingan Usaha, UU Jasa Kontruksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Surat Utang Negara. Sementara hukum modern dalam bentuk pasal antara lain adlah ketentuan tentang perlingungan pemegang saham minoritas yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas, dokumen dalam wujud elektronik yang diatur dalam UU Dokumen Perusahaan, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur dalam UU Arbitase.

e.         Menciptakan Iklim Investasi yang Kondusif

Bagi investor asing, hukum dan UU menjadi salah satu tolak ukur untuk menetukan kondusf tidaknya iklim investasi di suatu negara. Dalam tiga dekade belakangan ini, pelaku usaha yang menanamkan modalnya dinegara berkembang sangat mempertimbangkan kondisi hukum dinegara tersebut. Infrastuktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum bagi mereka memberikan keamanan, certainty, dan predictability atas investasi mereka. Semakin baik jondisi hukum dan UU yang melindungi investasi mereka semakin dianggap kondusif iklim investasi dari negara tersebut.

Pemerintah Indonesia sangat memahami apa yang menjadi perhatian dari penanam modal asing. Oleh karena tidak sedikit UU bidang ekonomi yang diberlakukan untuk memenuhi harapan ini. Upaya ini juga dilakukan untuk mengimbangi kompetisi dari negara tetangga yang melakukan reformasi hukum untuk menarik investor asing.

Dalam memenuhi harapan investor asing ada kesan pemerintah sangat mudah meluluskan keinginan mereka. Kesan ini bisan jadi benak mengingat investasi asing merupakan salah satu penyangga perekonomian nasional. Tanpa dipenuhinya berbagai permintaan investor asing dibidang hukum, tentunya berakibat pada keengganan untuk melakukan penanaman modal di Indonesia.

Kebijakan pemberlakuan dalam menciptakan ilkim investasi yang kondusif sangat terlihat dalam pasal-pasal berbagai UU bidang ekonomi. Pasal-pasal ini menjadi indikator bagi para investir asing untuk menentukan apakah iklim investasi di Indonesia kondusif atau tidak. Bahkan mereka mencermati pula bagaimana berbagai pasal ini dilaksanakan dalam tahap implementasi. Ini berbeda dengan sepuluh dua tahun yang lalu dimana investor akan terpuaskan bila Indonesia memiliki UU bidang ekonomi tertentu tanpa memperhatikan substansi bahkan pelaksanaannya.

f.     Menjawab Tantangan Era Globalisasi

Menjawab tantangan era globalisasi merupakan kebijakan pemberlakuan UU bidang ekonomi yang berikutnya. Tantangan globalisasi kerap disebut dalam UU bidang ekonomi yang dihasilkan dalam kurun waktu 1990-an. Alsan utama karena globalisasi pada masa itu sedang menjadi topik pembicaraan. Namun alasan globalisasi tidak terlalu disebut dalam UU bidang ekonomi yang dihasilkan setelah tahun 2000.

Kebijakan pemberlakuan berupa menjawan tantangan era globalisasi dikonkritkan baik dalam bentuk pembuatan UU maupun perumusahn masal. Kebijakan pemberlakuan untuk menjawab tantangan blobalisasi direflesikan dalam dua bentuk. Pertama, adalah membuat UU atau ketentuan yang hampir sama dengan yang ada dinegara maju. Disini dapat dikatakan kebijakan pemberlakuan ini tidak berbeda mengganti ketentuan yang telah usang ataupun meiliki hukum modern.

Menjawab tantangan globalisasi tidak diterjemahkan sebagai menciptakan hukum yang sama sekali baru, melainkan mengadopsi hukum yang ada dimasyarakar Industri. Sebagai contoh dalam penjelasan umum UU Persaingan Usaha disebutkan bahwa UU tersebut dibutuhkan dalam era globalisasi, padahal UU yang sama sudah sejak lama dikenal di AS dan Inggris.

Bentuk kedua adalah membuat UU ataupun merumuskan pasal yang memungkinkan pelaku usaha asing masuk ke pasar Indonesia. Ini bisa disamakan dengan kebijakan pemberlakuan berupa membuka akses pasar Indonesia. Ini bisa disamakn dengan kebijakan pemberlakuan berupa membuka akses pasar Indonesia yang akan dijelaskan pada bagian lain. Perbedaan antara kedua kebijakan pemberlakuan ini terletak pada prespektif. Menjawab tantangan era globalisasi merupakan perspektif Indonesia, sementara membuka akses pasar Indonesia yang lebih luas merupakan perspektif faktor ekstrenal.

g.        Pemenuhan ersyaratan Utang atau Hibah Luar Negeri

Kebijakan Pemberlakuan berikutnya adalah dalam rangka memenuhi persyaratan utang atau hibah dari lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan Asian Development Bank (ADB) , atau negara donor. Adanya kebijakan pemberlakuan ini karena adanya ketergantungan perekonomian Indonesia pada utang dan hibah luar negeri. Ketergantungan ekonomi membuat pemerintah rentan untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh pemberi utang atau hibah. Penolakan untuk melakukan pembentukan UU berakibat pada ditundanya bahkan dibatalkannya utang atau hibah.

Utang harus dibedakan dengan hibahl utang didasarkan pada permintaan dari negara yang ingin berutang. Permintaan tersebut bisa dikabulkan akan dikaitkan dengan sejumlah persyaratan. Salah satu persyaratan yang diminta adalah reformasi hukum.

Dalam krisis ekonomi selama lebih dari 5 tahun, yang dimulai sekah akhir 1997, banyak UU bidang eknomi yang dikeluarkan UU yang sangat jelas merupakan persyaratan IMF adalah UU Kepailitan dan UU Persaingan Usaha. Dalam Letter of Intent jelas disebutkan bahwa UU Kepailitan dan UU Persaingan Usaha dijadikan syarat (conditionality) untuk mendapatkan dan pencairan uang.
Sementara hibah merupakan uang yang dikucurkan dari negara pemberi hibah. Uang ini pada saat diluncurkan akan dikitkan dengan persyaratan tertentu. Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu egara donor Indonesia melalui United Stated Agency for international Development (USAID) akan memberi bantuan sepanjang terkait dengan penciptaan “a conducive legal and regulatory framework” dan “open acces to economic oppurtunity”. Demikian juga Official Development Assistance (ODA) dari jepang misalnya memberikan bantuan dalam rangka untuk memperkenalkan ekonomi pasar (introduced market economy).
Ekonomi pasar tentunya memb utuhkan einfrastuktur hukum sebagimana yang dikenal pada negara-negara maju atau pemberi hibah. Disamping itu Indonesia pernah menerima hibah dari ADB dengan syarat membentuk UU Anti Pencucian Uang.
Persyaratan pemebuhan utang atau hibah tidak harus diartikan bahwa persyaratan tersebut murni muncul dari negara donor atau lembaga keuangan internasional. Dalam beberapa kesempatan persyaratan tersevut justru muncul dair pihak pemberi utang atau hibah. Kepentingan dari para pihak terakomodasi pada saat meeka diminta atau memberi masukkan kepada pihak pemberi utang atau hibah. Disini keberadaan pemberi utng atau hibah dimanfaatkan untuk menjadi entry point pleh pihakpihak tertentu untuk turut terlibat dalam masalah Indonesia.
Pihak yang mempengaruhi pemberi utang atau onor tidak harus diartikan sebagai pihak dari luar negeri. Kerap pihak dari dalam negeripun memanfaatkan keberadaan pemberi utang atau donor unuk memaksa pemerintah melakukan suatu hal. Pihak dalam negeri sangat menyadari bahwa tanpa memanfaatkan keberadaan pemberi utang atau hibah apa yang menjadi keinginan mereka akan gagal dijadikan kebijakan oleh pemerintah.
Para memberi utang ataupun hibah, dalam beberapa hal, disamping mendoong agar suatu U bidang ekonomi dikeluarkan, juga kerap terlibat dalam perancangan UU tersebut, UU Kepailitan merupakan salah satu contoh di mana keterlibatan pemberi pinjaman dalam tahap perancangan terlihat sangat jelas. IMF menunjuk dan mendanai ahli Kepailitan Belanda untuk merancang UU Kepailitan mendampingi ti dari Indonesia. Demikian pula UU Persaingan Usaha yang pada waktu masih dipersiapkan oleh departemen perdagangan memperoleh masukan dari para ahli dari AS dan pada saat dipersiapkan oleh DPR banyak mendapat masukkan dari para ahli Jerman. Bnyak lagi UU yang dalam tahap awalnya dirancang oleh para ahli dari luar negeri.
Kebijakan pemberlakuan untuk memenihu persyaratan utang atau hibah luar negeri tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum UU. Tentunya akan terkesan buruk di masyarakat bila kebijaka ini dicerminkan dalam konsiderans menimbang atau penjelasan umum. Indikasi dari dipenuhi kebijakan pemberlakuan ini adalah dengan adanya UU yang dikehendaki, disamping juga tercermin dalam perumusan pasal.
h.        Pemenuhan Kewajiban Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional kerap digunakan oleh negara-negara maju untuk melakukan intervensi terhadap hukum nasional negara-negara berkembang. Ini bisa terjadi mengingat perjanjian internasional yang ditandatangani oleh suatu negara akan membawa konsekuensi bagi negara tersebut untuk mentransformasikan ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional mereka. Perjanjian internasional dalam konteks seperti ini telah dijadikan alat untuk melakukan intervensi. Memang dapat diargumentasikan bahwa negara yang menandatangani berarti negara tersebut harus tunduk pada ketentuan yang telah digariskan. Hanya saja tidak sedikit negara berkembang yang merasa harus menandatangani perjanjian tersebut karena mendapat tekanan atau diberi pemanis berupa hibah dan lain sebagainya oleh negara maju.
Indonesia tidak merupakan pengecualian atas fenomena ini. Banyak perjanjian internasional yang ditandatangani yang membawa konsekuensi untuk ditransformasikan kedalam hukum nasional. Hal ini merupakan kebijakan pemberlakuan bariutnya, yaitu dalam rangka memenuhi kewajiban perjanjian internasional. UU bidang ekonomi yang dominan karena keharusan ini adalah UU di bidang Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut “uu Bidang HKI”) dan UU Ketenagakerjaan. Dua bidang ini mengingat Indonesia adalah peserta berbagai perjanjian internasional dibidang HKI, termasuk Trade Related aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs), dan berbagai perjanjian internasional (conventions) yang dihasilkan oleh Internasional Labour Organisations (ILO). Wujud konkrit dari kebijakan pemberlakuan ini adalah dalam bentuk UU maupun amandemen pasal dari UU yang telah ada. Contoh dalam bentuk UU adalah UU Rahasia Dagang , UU desain Industri, UU Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sementara dalam bentuk amandemen pasal adalah UU Paten, UU Merek, dan UU Hak Cipta.
Dengan dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian internasional, diatas kertas dalam masalah HKI Indonesia memiliki substansi UU Bidang HKI yang setaraf dengan negara maju, dan dibidang ketenagakerjaan memiliki UU yang selaras dengan norma internasional. Namun ini tidak berarti kemajuan tersebut tercermin dalam kenyataan mengingat Indonesia masih menghadapi masalah besar di bidang penegakan hukum.

i.      Memberi Dukungan Pada Kekuasaan
Sadar ataupun tidak UU sering digunakan oleh suatu pemerintahan untuk memberi dukungan tambahan bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pemerintahan Soekarno mendapatkan dukungan tambahan dari rakyat dengan ambisinya untuk menghapuskan peraturan perundang-undangan produk kolonial. Sementara pemerintahan Soeharto berambisi untuk menghapus peraturan perundnag-undangan produk kolonial dan prodk pemerintahan Soekarno yang dilabel dengan “Orde Lama”. Demikian pula pemerintahan Habibie juga berambisi untuk mengganti berbagai UU dengan program reformasi hukumnya.
Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat kesan dikalangan para menteri ataupun kesan dikalangan para menteri ataupun direktur jenderal untuk emnghasilkan atau mengubah UU yang ada selama masa jabatannya. Ini dilakukan karena UU dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan delam memimpin suatu instansi. Dalam konteks demikian, UU dibuat untuk merespons kebutuhan riil melainkan sekedar merespons ego para pejabatnya.
Pada masa pemerintahan Habibie, kebijakan untuk emmberlakukan undang-undang Persaingan Usaha digunakan untuk mendapatkan dukungan pada pemerintahannya. Pemerintahan Habibie yang memerlukan legitimasi atas kekuasaannya melihat rakyat pada waktu itu muak terhadap monopoli yang dilakukan oleh para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat maka pemerintahan Habibie melihat UU Persaingan Usaha sebagai jawabannya. Bahkan nama Rancangan UU yang dipersiapkan diubah dari “Persaingan Tidak Jujur” menjadi “Larangan Praktik Monopoli”. Dengan demikian masyarakat akan berpikiran bahwa dengan UU tersebut praktik monopoli akan dihapuskan. Sayangnya tindakan demikian telah membawa masyarakat pada pemahaman yang salah.
Undang-undang Persaingan Usaha dengan demikian tidak dibuat agar persaingan usaha di Indonesia semakin baik dan perekonomian semakin efisien, tetapi juga agar rakyat memberi dukungan lebih besar pada pemerintahan Habibie.
Kebijakan pemberlakuan untuk emmeberi dukungan pada kekuasaan berdampak buruk pada pembangunan hukum nasional. Hal ini karena setiap kali ada pergantian pemerintahan, baik ditingkat presiden, menteri, maupun direktur jenderal, akan terjadi perubahan terhadap UU. Padahal perubahan yang dilakukan sekedar memindhkan pendulum dari satu sisi ke sisi yang lainnya.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal bisa mempengaruhi pembentuk UU karena adanya ketergatungan Indonesia secara ekonomi terhadap mereka. Semakin sebuah negara tergantung secara ekonomi pada negara lain atau lembaga keuangan internasional maka semakin rentan negara tersebut untuk diintervensi.
Faktor eksternal mempengaruhi penbentuk UU melalui dua cara. Pertama dengan memberi insentif. Insentif yang dimaksud berupa hibah atau keistimewaan tertentu (pemberi kuota dalam perdagangan internasional). Pemberian insentif ini kemudian dikaitkan dengan syarat untuk memberlakukan UU bidang ekonomi tertentu. Bila tidak, insentif akan dibatalkan atau ditunda.
Cara kedua adalah dengan menerapkan sanksi. Apabila pemerintah tidak memberlakukan UU bidang ekonomi yang diinginkan maka negara atau lembaga keuangan internasional terkait akan mengenakan sanksi. Sanksi dapat berupa penghentian fasilitas, ditundanya pemberian utang, bahkan memasukkan Indonesia kedalam black list dan lain sebaginya. Cara terakhirnya ini sering dilakukan dalam kaitan dengan UU bidang HKI.

a.        Melindungi Investor
Negara donor dan lembaga keuangan internasional mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk memberlakukan UU bidang ekonomi dengan tujuan untuk melindungi investasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha mereka. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat perlindungan bagi investor asal negara donor didasarkan pada kewajiban setiap negara untuk melindungi individu dan badan hukum yang menjadi warga negaranya. Kewajiban ini muncul dalam konteks hukum internasional. Disamping itu, sebagai pembayar pajak para pelaku usaha berhak mendapat perlindungan dari negaranya.
Perlindungan terhadap investor dilakukan pada saat para investor tidak mempunyai posisi tawar (bergaining position) yang seimbang bila berhadapan dengan negara penerima investasi. Para investor biasanya akan menyampaikan keluhan mereka kepada negaranya dan negaralah yang kemudian berhadapan dengan negara penerima investasi.
Mengingat negara asal investor umumnya adalah negara maju yang memiliki andil juga dalam lembaga keuangan internasional maka mereka dapat mempengaruhi pemerintah Indonesia secara langsung ataupun melalui lembaga keuangan internasional. Lembaga keuangan internasional kerap digunakan oleh negara maju untuk “memaksa” negara yang bergantung pada lembaga keuangan internasional untuk melakukan perlindungan bagi investor mereka.
Kebijakan pemberlakuan ini biasanya tidak terungkap dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum dalam UU. Kebijakan pemberlakuan ini sangat tercrmin dalam perumusan pasal UU.
Sebagai contoh, pasal-pasal dalam UU Kepailitan lebih condong melindungi kreditur daripada debitur. Bahkan tidak adanya pasal yang mensyaratkan pihak yang hendak dipailitkan harus dalam keadaan tidak sehat mengindikasikan UU Kepailitan lebih berpihak pada kreditur asing.
Perlindungan kreditur asing tidak terlepas dari kenyataan bahwa pada saat krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, kepentingan kreditur asing-lah yang menjadi perhatian utama dari negara pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional. Perlindungan ini diberikan mengingat di Indonesia tidak ada mekanisme yang efektif bagi proses kepailitan bila penyelesaian utang diluar pengadilan mengalami jalan buntu.
b.        Membuka Akses Pasar Indonesia Lebih Luas
Bagi negara maju, negara berkembang adalah pasar yang sangat potensial bagi barang dan jasa yang dihasilkan oleh para pelaku usahanya. Tidak sedikit negara maju yang menggantungkan perekonomian nasionalnya pada investasi yang dilakukan oleh pelaku usahanya diluar negeri. Namun permasalahannya yang sering dihadapi oleh pelaku usaha negara maju adalah pasar dari negara berkembang kerap sangat tertutup. Tertutupnya pasar negara berkembang bisa bermacam-macam, muali dari alasan proteksi industri dalam negeri hingga pemberian keistimewaan bagi pelaku usaha lokal yang dekat dengan elit kekuasaan. Untuk itu sejumlah kiat dilakukan oleh negara maju untuk membuka akses pasar negara berkembang.
Salah satu dari kiat tersebut adalah mempengaruhi pemerintahan negara berkembang untuk membuat UU bidang ekonomi yang berorientasi pada pasar. Orientasi demikian akan memberi peluang kepada pelaku usaha dari negara maju untuk memperoleh akses pasar negara berkembang.
Indonesia bukanlah merupakan pengecualian dimata negara maju. Negara yang menghendaki agar akses pasar Indonesia yang relatif tertutup, dibuka lebih luas. Tertutupnya pasar di Indonesia bukan karena proteksi industri dalam negeri, melainkan lebih karena pemberian kepada pelaku usaha lokal yang dekat dengannya. Keistimewaan yang didapat oleh para pelaku usaha tertentu ini dikuatkan dengan peraturan perundang-undangan.
Tidak heran bila negara donor ataupun lembaga keuangan internasional akan mempengaruhi pengambilan keputusan di Indonesia untuk memberlakukan UU bidang ekonomi yang berorientasi pada ekonomi pasar. Kebijakan pemberlakuan ini biasanya tidak dicerminkan secara kasat mata, sepertidalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum UU. Kebijakan pemberlakuan ini cukup diterjemahkan dalam pembentukan suatu UU dan perumusan pasal.
Sebagai contoh, disamping untuk mengefisiensikan perekonomian Indonesia, sebenernya UU Persaingan Usaha dimanfaatkan oleh para pelaku usaha asing untuk melakukan penetrasi pasar Indonesia. Dengan memperkenalkan UU Persaingan Usaha maka ini secara tidak langsung akan menghapuskan praktik monopoli yang diberikan oleh pemerintah pada segelintir pelau usaha di Indonesia.
c.         Melakukan Harmonisasi Hukum Indonesia
Dari prespektif negara maju, harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu hal penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjurus pada keseragaman dibidang infrastuktur hukum akan berdampak pada kenyamanan untuk berinvestasi dari pelaku usaha negara maju dinegara berkembang. Ini penting di era dunia yang tidak mengenal batas dan transaksi lintas batas yang memerlukan pengaturan hukum.
Keinginan untuk mengharmonisasikan hukum juga dituntut oleh negara maju dan lembaga keuangan internasional terhadap hukum Indonesia, utamanya yang terkait dengan masalah ekonomi. Substansi UU yang diberlakukan di Indonesia dengan demikian akan menyerupai apa yang ada diberbagai negara maju.

Ada dua cara agar Indonesia mau melakukan harmonisasi hukumnya. Pertama adalah Indonesia secara suka rela mengadopsi model law yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi internasional. Sebagi contoh dalam penyusunan RUU Telematika yang segera akan dibahas oleh DPR digunakan  Model Law  dari United Nations Comitte on International Trade Law (UNCITRAL) yaitu Electronical Commerce dan Electronic Signatures.

Cara kedua adalah dengan pemanfaatan bantuan finansial dan ahli dari negara maju. Indonesia akan mendapat bantuan cuma-cuma dalam perancangan suatu UU yang diinginkan untuk terjadi harmonisasi. Para ahli asing biasanya akan bekerjasama dengan ahli Indonesia dalam menyiapkan rancangan UU ini yag diharapkan disahkan oleh pembentu UU.

Dalam mempengaruhi pembentuk UU untuk menuju harmonisasi hukum Indonesia, kesan bahwa terjadi westernisasi hukum Indonesia tidak dapat dihindari. Memang harmonisasi akan mengarah pada westernisasi. Namun demikian westernisasi hukum bukanlah hal baru mengingat westernisasi hukum sudah pernah dilakukan. Ini terjadi pada saat Eropa melakukan kolonialisme dam imperealisme terhadap negara-negara di benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Sebagai akibat saat ini hampir tidak ada negara di dunia yang meiliki hukum tanpa pengaruh dari Eropa.

d.        Memastikan Pembayaran Utang

Permintaan negara pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional untuk memebrlakukan UU bidang ekonomi juga dilakukan dalam rangka memastikan pembayaran utang Indonesia. Alasannya, infrastuktur hukum yang semakin ramah dengan investor akan meningkatkan jumlah investaso asing dan mengefisiensikan perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia yang membaik dan stabil pada gilirannya akan berpengaruh pada pembayaran utang oleh Indonesia.

Negara donor dan lembaga keuangan intensional bertindak mirip seperti bank dalam membeikan fasilitas kredot kepada debitur. Bank biasnaya tidak begitu saja memberi fasilitas kredit melainkan akan meminta proposal yang berisi rencana penggunaan uang sampai dengan bagaimana utang akan dicicil. Bank juga mempunyai hak untuk mengintervensikan atas apa yang dilakukan oleh debitur. Dalam konteks inilah negara donor dan lembaga keuangan internasional kerap melibatkan diri dalam urusan Indonesia, termasuk dalam pembentukan UU dan substansi yang diatur dalam UU tersebut.

e.         Merespons Kebutuhan Masyarakat.

Dalam berbagai kesempatan negara donor ataupun lembaga keuangan internasional tidak akan secara terbuka mengungkap kepentingan sebenernya dalam mempengaruhi pemerintah suatu negara untuk membentuk suatu UU. Mereka akan membungkus kepentingan tersebut dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah demi kebaikan dan kebutuhan masyarakat dari negara tersebut. Ini juga terjadi di Indonesia.

Dengan mengatakan perlunya membentuk suatu UU bidang ekonomi sebagai kebutuhan masyarakat negara donor meupun lembaga keuangan internasional terhadap apa yang mereka kehendaki dapat diterima oleh pemerintah maupun rakyat Indonesia. Hanya saja belakangan ini justru sebalikny yang terjadi. Bahkan keberadann negara donor maupun lembaga keuangan internasional dijadikan platform kampanye oleh para polotisi.

Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012


POLITIK HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA


REVIEW 1

Abstrak
Dalam pembuatan peratuan perundang-undangan, politik hukum sangat penting. Keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahan implementasi peraturan perundang-undangan. Politik hukum Indonesia terbagi dua yaitu kebijakan dasar (basic policy) dan kebijakan pemberlakuan (enactment policy). Dalam proses pembentukan undang-undang kebijakan pemberlakuan sangat penting mengingat harus diterjemahkan kedalam undang-undang itu sendiri dan perumusan pasal. Dari penelitian yang dilakukan terhadap undang-undang bidang ekonomi, paling tidak, terdapat 14 ragam kebijakan pemberlakuan. Berdasarkan penelitian ini juga didapati bahwa ternyata lemahnya hukum di Indonesia tidak disebabkan semata-mata pada permasalahan yang ada dalam tahap implementasi, tetapi juga pada tahap pembentukan UU (law making process) yaitu tahap sebelum undang-undang diundnagkan.
A.    PENGANTAR
Peraturan perundang0undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara snegaja oleh institusi negara. Dalam konteks demikian peraturan peundang-undangan tidak mungkin muncul secara tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu.
Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan politik hukum sangan penting, palin g tidak, untuk dua hal. Pertama, sebagai alsan mengaoa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaannya peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat antara pelaksanaan peraturan perundangundangan harus adakonseistensi dan korelasi yang erat dengan apa yang ditetapkan sebagai politik hukum. Pelaksanaan UU tidak lain adalah pencapaian apa yang diikhtiarkan dalam politik hukum yang telah ditetapkan (furthering policy goals).
Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasa dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimensi demikian disebut sebagai “Kebijakan Dasar” atau dalam bahasa inggris disebut sebagai basic policy. Contoh dari kebijakan dasar adalah undang-undang (selanjutnya disingkat menjadi UU ). Pemilihan umum yang dibentuk dengan tujuan menjaikan individu sebagai perwakilan rakyat dalam lembaga legislatif. Undang-Undang Mahkamah Agung dibentuk dengan tujuan memberi landasan hukum bagi lembaga ini dan memberi legitimasi atas putusan yang dikeluarkan.
Dibidang hukum yang terkait dengan perekonomian, kebijakan dasar dari UU Hak Cipta adalah memberikn perlindungan bagi pencpt atas ciptaannya. Kebijakan Dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang sudah tidak mampu lagi membayar utangnya disamping memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali haknya dari debitur.
Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam tulisan ini politik hukum dalam dimeni ini disebut sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau dalam bahasa inggrisnya disebut sebagai  enactment policy. Keberadaan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di negara berkembang mengingat peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah atau penguasanya, baik untuk hal yang bersifat positif maupun negatif. Hal positif dari pengguna UU oleh pemerintah adalah dalam rangka memajukan kehidupan politik warga negara, memperbaiki peekonomian dan lain sebagainya. Sementara yang bersifat negatif terjadi pada negara berkembang yang menganut pemerintahan otoriter atau diktatorial. UU dalam konsep ini dijadikan semacam legitimasi bagi kekuasaan yang memunculkan istilah Rule by Law dalam pengertian negatid dan bukan Rule of Law. Sebenernya ini bukan merupakan hal baru mengingat pada era kolonialisme dan imperealisme peraturan perundang-undangan kerap disisipi oleh pemerintah kolonial dengan kebijakan penjajahan (colonial policy) yang diberlakukan diwilayah jajahannya.
Tulisan ini hendak memfokuskan oada politik hukum dalam dimensi kebijakan pemberlakuan. Penelitian akan dilakukan akan dibatasi pada salah saty produk peraturan perundang-undangan yang di kenal di Indonesia, yaitu UU.
Pada awal tulisan akan diperdalam pembahasan tentang kebijakan pemberlakuan, selanjutnya akan diidentifikasikan beragam kebijakan permberlakuan UU di Indonesia. Utnuk keperluan tersebut sejumlah UU dianalisis. Hanya saja UU yang dianalisis dibatasi pada UU yang terkait dengan masalah ekonomi (selanjutnya disebut “UU Bidang Ekonomi”) yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rentang waktu 1990 hingga Agustus 2003.
Adapun UU bidang ekonomi yang dteliti meliputi UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen , UU Jasa Kontruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Telekomunikasi, UU Fudisia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Paten, UU Merek, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Anti Pencucian Uang, UU Hak Cipta, UU Ketenagalistrikan, UU Surat Utang Negara, UU Ketenagakerjaan, UU Keuangan Negara.
Setelah diuraikan beragam kebijakan pemberlakuan, tulisan ini juga hendak mengungkap berbagai permasalahan yang terkait dnegan politik hukum dalam tahap pembentukan UU. Pengungkapan ini penting karena penulis berpendapat bahwa penyebab dari tidak berjalannya UU tidak semata-mata bersumber pada permasalahan yang ada dalam tahap penegakan hukum, tetapi juga brsumber pada permasalahan yang muncul dalam tahap pementukan hukum (law making process).
B. KEBIJAKAN PERMBERLAKUAN
Undang-Undang Pemilihan Umum disamping mengatur tentang bagaimana seorang individu dapat mewakili rakyat dalam lembaga legislatif, bisa juga ditujukan untuk memberi legitimasi adanya demokrasi disuatu negara yang memiliki pemerintahan otoriter dan diktorial. Tujuan dan alsan demikian merupaan politik hukum dalam dimensi kedua, yaitu kebijakan pemberlakuan.
Kebijakan pemberlakuan juga ditemua dalam UU yang terkait dengan masalah perekonomian. UndangUndang Hak Cipta dibentuk tidak sekedar untuk melindungi pencipta atas hasil ciptaannya, tetapi juga untuk memberi iklim investasi yang kondusif bagi investor asing. Amandemen terhadap UU Kepailitan dilakukan tidak sekedar untuk memenuhi kebijakan dasar tetapi juga ynuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh lembaga keuangan Internasional. Uu Persaingan Usaha dibentuk disamping memenuhi kebijakan dasarnya juga dimaksudkan untuk membuka pasar yang tertutup dari suatu negara karena pasar tersebut didominasi oleh pelaku usaha yang dekat dengan elit politik.
Kebijakan pemberlakuan memiliki muatan plitis. Dikatakan demikian karena kebijakan pemberlakuan UU pada dasarnya sangat bergantung pada apa yang diinginkan oleh pembuat UU. Ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif lebih netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembuatan UU tertentu.
Kebijakan pemberlakuan adalah faktor yang menyebabkan substansi dari suatu UU berbeda antara satu negara dengan negara lainnya meskipun memiliki tujuan dasar dan nama yang sama. Indonesia, Belanda, Jepang memiliki UU Kepailitan tetapi substansi UU Kepailitan Indonesia berbeda dengan UU Kepailitan Belanda atau Jepang.
Dalam suatu negara, institusi yang memiliki kekuasaan untuk emmebentuk UU merupakan pihak akhir yang menentukan apa yang menjadi kebijakan permberlakuan suatu UU. Hanya saja dalam menetapka kebijakan pemberlakuan institusi yang membentuk UU kerap dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fakto ini dapat digolongkan dalam dua katagori. Pertama adalah faktor yang berasal dari dalam negeri (selanjutnya disebut faktor internal)dan, kedua adalah faktor yang berasal dari luar negeri (selanjutnya disebut faktor eksternal).
Faktor internal bisa berasal dari keinginan individu yang memegang kekuasaan membentuk UU, keinginan pasrtai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat, bahkan ekinginan masyarakat. Sementara faktor eksternal dapat berasal dari keinginan lembaga keuangan internasional, keinginan dari negara donor, bahkan kewajiban diatur dalam suatu perjanjian Internasional.
Kebijakan pemberlakuan dalam suatu UU bisa lebih dari satu. Ini berbeda dengan kebijakan dasar yang hanya satu. Kebijakan permberlakuan, sama seperti juga kebijakan dasar, harus diterjemahkan dalam bentuk UU, perumusan pasal atau keduanya.
Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012