REVIEW 2
C.
RAGAM KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN UU BIDANG EKONOMI
Dalam penelitian atas
UU bidang ekonomi maka paling tidak ada 14 (empat belas) kebijakan
pemberlakuan. Dari keempat belas tersebut, 9 (sembilan) kebijakan pemberlakuan
masuk dalam katagori faktor internal dan 5 (lima) masuk dalam katagori faktor
eksternal. Berikut akan dibahas satu persatu keempat belas kebijakan
pemberlakuan tersebut.
Di Indonesia kebijakan pemberlakuan UU yang dipengaruji oleh faktor internal kerap dijadikan alasan filosofis atau sosiologis dari pembentukan UU. Umumnya kebijakan pemberlakuan ini dapat dilihat secara eksplisit dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum.
Perumusan kebijakan
pemberlakuan yang termaktub dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum
dibuat dengan menggunakan kalimat yang sangat panjang dan berisi lebih dari
satu pokok pikiran. Bahkan, perumusan kalimat bersifat hiperbolis dengan
menggunakan katalata yang meiliki pengertian yang sangat luas dan abtrak.
a.
Mencapai
Tujuan Pembangunan Nasional
Dalam UU bidang ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkan diberlakukan suatu UU aladah dalam rangka pembangunan nasional. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penyebutan ini dimulai sejak tahun 1980-an. Pada tahun 1950 hingga permulaan 1980-an penyebutan pemberlakuan UU Bidang Ekonomi karena pembangunan nasional hanya dilakukan apabila ada keterkaitan yang erat dengan apa yang hendak diatur, semisal UU Penanaman Modal Asing.
Kebijakan pemberlakuan
berupa pembangunan nasional secara kritis dapat dipertanyakan. Apakah
pencantuman pembagunan nasional dalam pembentukan UU bidang ekonomi merupakan
suatu keharusan ? Apakah penyebutan dilakukan karena Indonesia sebagai negara
berkembang yang sedang dalam proses membangun ? apanila demikian buknkah tanpa
pembangunan nasional sekalipun, Indonesia akan tetap membutuhkan UU ?
Selanjutnya, bukankah berbagai UU dapat dibentuk dengan alasan pembangunan
nasional ?
Berbagai pertanyaan ini
pada akhirnya akan menjurus pada kesimpulan bahwa kebijakan pemberkaluan berupa
pembangunan nasional dicantumkan tidak lain sebagau suatu formalitas belaka.
Ini hampir sama seperti pasa suatu ketika setiap UU yang dikeluarkan
mencantumkan kata revolusi.
Sudah saatnya dalam
pembentukan UU bisang ekonomi ke depan kebijakan permberlakuan berupa
pembangunan nasional tidak lag dicantumkan. Ini untuk menghindari penyebuta
pembangunan nasional sebagai sesuatu yang sakral meskipun tanpa makna. Terlebih
lagi mengingat kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional tidak perlu
dicerminkan dalam bentuk perumusan pasal.
b.
Menggantikan
Ketentuan yang Telah Usang
Kebijakan oemberlakuan
yang berikutnya adalah dalam rangka menggatu ketentuan yang telah usang.
Penggantian ketentuan yang usang dilakukan baiik terhadao ketebtuan produk
pemerintahan kolonial maupun ketentuan pasca-Indonesia merdeka.
Undang-Undang Perseroan
Terbatas, UU Arbirase, UU Kepailitan, UU Hak Tnggungan, dan UU Fidusa merupakan
UU Bidang Ekonomi yang bertujuan menggantikan UU produk kolonial. Sementara UU
Pasar Modal, UU Bank Indonesua, UU Merek, UU Paten, dan UU Hak Cipta merupakan
UU yang bertujuan untuk menggantikan produk hukum pasca-Indonesia merdeka
Ketentuan usang yang
digantikan dapat berbentuk UU, dapat pula berbentuk pasal dalam suatu UU. UU
Pasae Modal tahun 1996 misalnya menggantikan UU Bursa tahun 1952. Sementara UU
Perseroan Terbatas menggantikan pasal 36 hingga 56 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
Udangnya ketentuan
dapat disebebkan karena tidak sesuai dengan perkembangan yang ada, etepai dapat
juga karena perubahan kemdasar dari suatu sistem yang berlaky Undang-Undang
Arbitrase, UU Lalu Lintas Devisa, UU Merek, UU Migas, UU Kepailitan, UU
Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal dalam konsiderans menimbang dan penjelasan
umumnya menyebutkan secara tegas diberlakukan UU tersebut karena alasan tidak
sesuai dengan perkembangan. Sementara UU Bank Indonesia masuk dalam katagori UU
yng mengganti ketentuan sebelumnya karena perubahan mendasar dari sistem yang
ada.
Kebijakan pemberlakuan
berupa mengganti ketentuan yang usang sangat terefleksi dalam perumusan pasal
berbagai UU bidang ekonomi. Bila dibuat secara jelas perbedaan antara ketentuan
yang lama dengan ketentuan yang baru.
c.
Merespon
Kebutuhan Masyarakat
Merespon kebutuhan
masyarakat merupakan kebijakan pemberlakuan yang sering disebut dalam berbagai
UU bidang ekonomi. Dalam konsiderans menimbang maupun penjalasan umum
kebanyakan UU bidang ekonomi menyebutkan bahwa UU yang dibentuk bertujuan untuk
merespons kebutuhan masyarakat atau dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur.
Sayangnya kebijakan
pemberlakuan ini terkesan sebagai formalitas belaka daripada sungguh-sungguh
merespon kebutuhan masyarakat. Kesan ini didasarkan pada beberapa indikasi.
Pertama, mayoritas
masyarakat terkadang tidak merasa memiliki kebutuhan yang demikian besar
sehingga memerlukan suatu UU bidang ekonomi. Bahkan, masyarakat mustahil dapat
secara langsung menikmati berbagai keuntungan dari UU yang dibuat. Sebagai
contoh dalam UU Rahasia Dagang meskipun disitu jelas-jelas disebut demi kepentingan
masyarakat namun menjadi pertanyaan bessar apakah masyarakat memang
memerlukannya?
Kedua, penggunaan
istilah masyarakat sangat kabur. Mungkin saja pembuat UU hanya memfokuskan pada
masyarakat yang jumlahnya tidaklah mayoritas. Ada kecenderungan pembuat UU bila
memikirkan masyarakat, masyarakat yang mereka maksud terbatas pada masyarakat
di Jakarta atau kota-kota besar.
Indikasi lain adalah
dalam kebijakan pemberlakuan pada UU yang memiliki sensitifitas politik yang
tinggi kerap ada pertentangan di masyarakat tentang apa yang dimaksud kebutuhan
masyarakat. Udang-undang Ketenagakerjaan merupakan salah satu contohnya. Kaum
pekerja berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan asosiasi pengusaha.
Dalam ondisi seperti ini, pemerintah berada pada posisi ditengah-tengah yang
harus mengakomodasi dua kepentingan yang berada ekstrim. Konsukuensinya adalah
UU dapat dianggap sebagai kompromi antara dua kepentingan berbeda atau UU
tersebut ditolak keberadaannya. Dalam UU Ketenagakerjaan yang baru disahkan konsukuensinya
terakhirlah yang terjadi.
Dalam konteks ini yang
menjadi pertanyaan adalah masyarakat mana yang dimaksud oleh UU
Ketenagakerjaan?
Tantangan kedepan dalam
kebijakan pemberlakuan berupa merespons kebutuhan masyarakar adalah penggunaan
yang selektif atas istilah “masyarakat”. Dengan dmeikian pencantuman pmerespons
kebutuhan masyarakat tidak sekedar memenuhi formalitas belaka.
d.
Memenuhi
Keinginan Memiliki Hukum Modern
Kebijakan pemberlakuan
UU bidang ekonomi selanjutnya adalah dalam rangka memenuhi keinginan Inonesia
untuk memiliki hukum modern. Kebijakan pemberlakuan ini meskipun sekolas sama
dengan mengganti ketentuan usang namun keduanya harus dibedakan. Menggantikan
ketentuan yang usang adalah keadaan dimana sudah ada ketentuan tetapi
keuntungan tersebut dianggap tidak memadai lagi. Sementara memenuhi hasrat
memiliki hukum modern adalah suatu kondisi di mana sebelumnya belum ada
pengaturan di bidang tersebut.
Harus diakui bahwa
hukum modern tidak lain adalah hukum dikenal di AS ataupun lain di sejumlah
negara Eropa. Hukum modern bukanlah hukum yang sama sekali baru namun merupakan
UU yang secara nyata dibutuhkan pada masyarakat industri.
Dalam masyarakat
industri, kegiatan berupa perbankan, pasar modal, transaksi surat utang negara
dan lain sebagainya mensyaratkan infrastuktur hukum yang khusus. Sebagai
konsukuensinya semakin sebuah negara berorientasi pada industri maka semakin
negara tersebut membutuhkan infrastuktur hukum yang modern.
Dalam konteks demikian,
Indonesia yang sedang berproses menuju ke negara industri mau tidak mau
membutuhkan berbagai hukum yang lebih dahulu dikenal di AS maupun Eropa ke alam
Indonesia.
Kebijakan omberlakuan
dari keinginan memiliki hukum modern diwujudkan dlam bentuk diberlakukannya suatu
UU ataupun dimasukkannya ketentuan baru dalam bentuk pasal dari UU yang telah
ada. Contoh dari UU Perlindungan Konsumen, UU Persaingan Usaha, UU Jasa
Kontruksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Surat Utang Negara. Sementara
hukum modern dalam bentuk pasal antara lain adlah ketentuan tentang
perlingungan pemegang saham minoritas yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas,
dokumen dalam wujud elektronik yang diatur dalam UU Dokumen Perusahaan,
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur dalam UU
Arbitase.
e.
Menciptakan
Iklim Investasi yang Kondusif
Bagi investor asing,
hukum dan UU menjadi salah satu tolak ukur untuk menetukan kondusf tidaknya
iklim investasi di suatu negara. Dalam tiga dekade belakangan ini, pelaku usaha
yang menanamkan modalnya dinegara berkembang sangat mempertimbangkan kondisi
hukum dinegara tersebut. Infrastuktur hukum bagi investor menjadi instrumen
penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum bagi mereka memberikan keamanan,
certainty, dan predictability atas investasi mereka. Semakin baik jondisi hukum
dan UU yang melindungi investasi mereka semakin dianggap kondusif iklim
investasi dari negara tersebut.
Pemerintah Indonesia
sangat memahami apa yang menjadi perhatian dari penanam modal asing. Oleh
karena tidak sedikit UU bidang ekonomi yang diberlakukan untuk memenuhi harapan
ini. Upaya ini juga dilakukan untuk mengimbangi kompetisi dari negara tetangga
yang melakukan reformasi hukum untuk menarik investor asing.
Dalam memenuhi harapan
investor asing ada kesan pemerintah sangat mudah meluluskan keinginan mereka.
Kesan ini bisan jadi benak mengingat investasi asing merupakan salah satu
penyangga perekonomian nasional. Tanpa dipenuhinya berbagai permintaan investor
asing dibidang hukum, tentunya berakibat pada keengganan untuk melakukan
penanaman modal di Indonesia.
Kebijakan pemberlakuan
dalam menciptakan ilkim investasi yang kondusif sangat terlihat dalam
pasal-pasal berbagai UU bidang ekonomi. Pasal-pasal ini menjadi indikator bagi
para investir asing untuk menentukan apakah iklim investasi di Indonesia
kondusif atau tidak. Bahkan mereka mencermati pula bagaimana berbagai pasal ini
dilaksanakan dalam tahap implementasi. Ini berbeda dengan sepuluh dua tahun
yang lalu dimana investor akan terpuaskan bila Indonesia memiliki UU bidang
ekonomi tertentu tanpa memperhatikan substansi bahkan pelaksanaannya.
f.
Menjawab
Tantangan Era Globalisasi
Menjawab tantangan era
globalisasi merupakan kebijakan pemberlakuan UU bidang ekonomi yang berikutnya.
Tantangan globalisasi kerap disebut dalam UU bidang ekonomi yang dihasilkan
dalam kurun waktu 1990-an. Alsan utama karena globalisasi pada masa itu sedang
menjadi topik pembicaraan. Namun alasan globalisasi tidak terlalu disebut dalam
UU bidang ekonomi yang dihasilkan setelah tahun 2000.
Kebijakan pemberlakuan
berupa menjawan tantangan era globalisasi dikonkritkan baik dalam bentuk
pembuatan UU maupun perumusahn masal. Kebijakan pemberlakuan untuk menjawab
tantangan blobalisasi direflesikan dalam dua bentuk. Pertama, adalah membuat UU
atau ketentuan yang hampir sama dengan yang ada dinegara maju. Disini dapat
dikatakan kebijakan pemberlakuan ini tidak berbeda mengganti ketentuan yang
telah usang ataupun meiliki hukum modern.
Menjawab tantangan
globalisasi tidak diterjemahkan sebagai menciptakan hukum yang sama sekali
baru, melainkan mengadopsi hukum yang ada dimasyarakar Industri. Sebagai contoh
dalam penjelasan umum UU Persaingan Usaha disebutkan bahwa UU tersebut
dibutuhkan dalam era globalisasi, padahal UU yang sama sudah sejak lama dikenal
di AS dan Inggris.
Bentuk kedua adalah
membuat UU ataupun merumuskan pasal yang memungkinkan pelaku usaha asing masuk
ke pasar Indonesia. Ini bisa disamakan dengan kebijakan pemberlakuan berupa
membuka akses pasar Indonesia. Ini bisa disamakn dengan kebijakan pemberlakuan
berupa membuka akses pasar Indonesia yang akan dijelaskan pada bagian lain.
Perbedaan antara kedua kebijakan pemberlakuan ini terletak pada prespektif.
Menjawab tantangan era globalisasi merupakan perspektif Indonesia, sementara
membuka akses pasar Indonesia yang lebih luas merupakan perspektif faktor
ekstrenal.
g.
Pemenuhan
ersyaratan Utang atau Hibah Luar Negeri
Kebijakan Pemberlakuan
berikutnya adalah dalam rangka memenuhi persyaratan utang atau hibah dari
lembaga keuangan internasional, seperti International
Monetary Fund (IMF), World Bank (WB),
dan Asian Development Bank (ADB) ,
atau negara donor. Adanya kebijakan pemberlakuan ini karena adanya
ketergantungan perekonomian Indonesia pada utang dan hibah luar negeri.
Ketergantungan ekonomi membuat pemerintah rentan untuk mengikuti apa yang
dikehendaki oleh pemberi utang atau hibah. Penolakan untuk melakukan
pembentukan UU berakibat pada ditundanya bahkan dibatalkannya utang atau hibah.
Utang harus dibedakan
dengan hibahl utang didasarkan pada permintaan dari negara yang ingin berutang.
Permintaan tersebut bisa dikabulkan akan dikaitkan dengan sejumlah persyaratan.
Salah satu persyaratan yang diminta adalah reformasi hukum.
Dalam krisis ekonomi
selama lebih dari 5 tahun, yang dimulai sekah akhir 1997, banyak UU bidang
eknomi yang dikeluarkan UU yang sangat jelas merupakan persyaratan IMF adalah UU
Kepailitan dan UU Persaingan Usaha. Dalam Letter
of Intent jelas disebutkan bahwa UU Kepailitan dan UU Persaingan Usaha
dijadikan syarat (conditionality)
untuk mendapatkan dan pencairan uang.
Sementara
hibah merupakan uang yang dikucurkan dari negara pemberi hibah. Uang ini pada
saat diluncurkan akan dikitkan dengan persyaratan tertentu. Amerika Serikat
(AS) sebagai salah satu egara donor Indonesia melalui United Stated Agency for international Development (USAID) akan
memberi bantuan sepanjang terkait dengan penciptaan “a conducive legal and regulatory framework” dan “open acces to economic oppurtunity”.
Demikian juga Official Development
Assistance (ODA) dari jepang misalnya memberikan bantuan dalam rangka untuk
memperkenalkan ekonomi pasar (introduced
market economy).
Ekonomi
pasar tentunya memb utuhkan einfrastuktur hukum sebagimana yang dikenal pada
negara-negara maju atau pemberi hibah. Disamping itu Indonesia pernah menerima
hibah dari ADB dengan syarat membentuk UU Anti Pencucian Uang.
Persyaratan
pemebuhan utang atau hibah tidak harus diartikan bahwa persyaratan tersebut
murni muncul dari negara donor atau lembaga keuangan internasional. Dalam
beberapa kesempatan persyaratan tersevut justru muncul dair pihak pemberi utang
atau hibah. Kepentingan dari para pihak terakomodasi pada saat meeka diminta
atau memberi masukkan kepada pihak pemberi utang atau hibah. Disini keberadaan
pemberi utng atau hibah dimanfaatkan untuk menjadi entry point pleh pihakpihak tertentu untuk turut terlibat dalam
masalah Indonesia.
Pihak
yang mempengaruhi pemberi utang atau onor tidak harus diartikan sebagai pihak
dari luar negeri. Kerap pihak dari dalam negeripun memanfaatkan keberadaan
pemberi utang atau donor unuk memaksa pemerintah melakukan suatu hal. Pihak
dalam negeri sangat menyadari bahwa tanpa memanfaatkan keberadaan pemberi utang
atau hibah apa yang menjadi keinginan mereka akan gagal dijadikan kebijakan
oleh pemerintah.
Para
memberi utang ataupun hibah, dalam beberapa hal, disamping mendoong agar suatu
U bidang ekonomi dikeluarkan, juga kerap terlibat dalam perancangan UU
tersebut, UU Kepailitan merupakan salah satu contoh di mana keterlibatan
pemberi pinjaman dalam tahap perancangan terlihat sangat jelas. IMF menunjuk
dan mendanai ahli Kepailitan Belanda untuk merancang UU Kepailitan mendampingi
ti dari Indonesia. Demikian pula UU Persaingan Usaha yang pada waktu masih
dipersiapkan oleh departemen perdagangan memperoleh masukan dari para ahli dari
AS dan pada saat dipersiapkan oleh DPR banyak mendapat masukkan dari para ahli
Jerman. Bnyak lagi UU yang dalam tahap awalnya dirancang oleh para ahli dari
luar negeri.
Kebijakan
pemberlakuan untuk memenihu persyaratan utang atau hibah luar negeri tidak
disebutkan secara eksplisit baik dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan
umum UU. Tentunya akan terkesan buruk di masyarakat bila kebijaka ini
dicerminkan dalam konsiderans menimbang atau penjelasan umum. Indikasi dari
dipenuhi kebijakan pemberlakuan ini adalah dengan adanya UU yang dikehendaki,
disamping juga tercermin dalam perumusan pasal.
h.
Pemenuhan
Kewajiban Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional kerap digunakan oleh negara-negara maju untuk melakukan
intervensi terhadap hukum nasional negara-negara berkembang. Ini bisa terjadi
mengingat perjanjian internasional yang ditandatangani oleh suatu negara akan
membawa konsekuensi bagi negara tersebut untuk mentransformasikan ketentuan
dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional mereka. Perjanjian
internasional dalam konteks seperti ini telah dijadikan alat untuk melakukan
intervensi. Memang dapat diargumentasikan bahwa negara yang menandatangani
berarti negara tersebut harus tunduk pada ketentuan yang telah digariskan.
Hanya saja tidak sedikit negara berkembang yang merasa harus menandatangani
perjanjian tersebut karena mendapat tekanan atau diberi pemanis berupa hibah
dan lain sebagainya oleh negara maju.
Indonesia
tidak merupakan pengecualian atas fenomena ini. Banyak perjanjian internasional
yang ditandatangani yang membawa konsekuensi untuk ditransformasikan kedalam
hukum nasional. Hal ini merupakan kebijakan pemberlakuan bariutnya, yaitu dalam
rangka memenuhi kewajiban perjanjian internasional. UU bidang ekonomi yang
dominan karena keharusan ini adalah UU di bidang Hak Kekayaan Intelektual
(selanjutnya disebut “uu Bidang HKI”) dan UU Ketenagakerjaan. Dua bidang ini
mengingat Indonesia adalah peserta berbagai perjanjian internasional dibidang
HKI, termasuk Trade Related aspect of
Intelectual Property Rights (TRIPs), dan berbagai perjanjian internasional
(conventions) yang dihasilkan oleh
Internasional Labour Organisations (ILO). Wujud konkrit dari kebijakan
pemberlakuan ini adalah dalam bentuk UU maupun amandemen pasal dari UU yang
telah ada. Contoh dalam bentuk UU adalah UU Rahasia Dagang , UU desain
Industri, UU Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sementara dalam bentuk amandemen pasal
adalah UU Paten, UU Merek, dan UU Hak Cipta.
Dengan
dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian internasional, diatas kertas dalam
masalah HKI Indonesia memiliki substansi UU Bidang HKI yang setaraf dengan
negara maju, dan dibidang ketenagakerjaan memiliki UU yang selaras dengan norma
internasional. Namun ini tidak berarti kemajuan tersebut tercermin dalam
kenyataan mengingat Indonesia masih menghadapi masalah besar di bidang
penegakan hukum.
i. Memberi Dukungan Pada Kekuasaan
Sadar
ataupun tidak UU sering digunakan oleh suatu pemerintahan untuk memberi
dukungan tambahan bagi kekuasaan yang dipegangnya. Pemerintahan Soekarno mendapatkan
dukungan tambahan dari rakyat dengan ambisinya untuk menghapuskan peraturan
perundang-undangan produk kolonial. Sementara pemerintahan Soeharto berambisi
untuk menghapus peraturan perundnag-undangan produk kolonial dan prodk
pemerintahan Soekarno yang dilabel dengan “Orde Lama”. Demikian pula
pemerintahan Habibie juga berambisi untuk mengganti berbagai UU dengan program
reformasi hukumnya.
Pada
masa pemerintahan Soeharto terdapat kesan dikalangan para menteri ataupun kesan
dikalangan para menteri ataupun direktur jenderal untuk emnghasilkan atau
mengubah UU yang ada selama masa jabatannya. Ini dilakukan karena UU dianggap
sebagai salah satu indikator keberhasilan delam memimpin suatu instansi. Dalam
konteks demikian, UU dibuat untuk merespons kebutuhan riil melainkan sekedar
merespons ego para pejabatnya.
Pada
masa pemerintahan Habibie, kebijakan untuk emmberlakukan undang-undang
Persaingan Usaha digunakan untuk mendapatkan dukungan pada pemerintahannya.
Pemerintahan Habibie yang memerlukan legitimasi atas kekuasaannya melihat
rakyat pada waktu itu muak terhadap monopoli yang dilakukan oleh para pengusaha
yang dekat dengan elit kekuasaan. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat
maka pemerintahan Habibie melihat UU Persaingan Usaha sebagai jawabannya.
Bahkan nama Rancangan UU yang dipersiapkan diubah dari “Persaingan Tidak Jujur”
menjadi “Larangan Praktik Monopoli”. Dengan demikian masyarakat akan berpikiran
bahwa dengan UU tersebut praktik monopoli akan dihapuskan. Sayangnya tindakan
demikian telah membawa masyarakat pada pemahaman yang salah.
Undang-undang
Persaingan Usaha dengan demikian tidak dibuat agar persaingan usaha di
Indonesia semakin baik dan perekonomian semakin efisien, tetapi juga agar
rakyat memberi dukungan lebih besar pada pemerintahan Habibie.
Kebijakan
pemberlakuan untuk emmeberi dukungan pada kekuasaan berdampak buruk pada
pembangunan hukum nasional. Hal ini karena setiap kali ada pergantian
pemerintahan, baik ditingkat presiden, menteri, maupun direktur jenderal, akan
terjadi perubahan terhadap UU. Padahal perubahan yang dilakukan sekedar
memindhkan pendulum dari satu sisi ke sisi yang lainnya.
2. Faktor
Eksternal
Faktor
eksternal bisa mempengaruhi pembentuk UU karena adanya ketergatungan Indonesia
secara ekonomi terhadap mereka. Semakin sebuah negara tergantung secara ekonomi
pada negara lain atau lembaga keuangan internasional maka semakin rentan negara
tersebut untuk diintervensi.
Faktor
eksternal mempengaruhi penbentuk UU melalui dua cara. Pertama dengan memberi
insentif. Insentif yang dimaksud berupa hibah atau keistimewaan tertentu
(pemberi kuota dalam perdagangan internasional). Pemberian insentif ini
kemudian dikaitkan dengan syarat untuk memberlakukan UU bidang ekonomi
tertentu. Bila tidak, insentif akan dibatalkan atau ditunda.
Cara
kedua adalah dengan menerapkan sanksi. Apabila pemerintah tidak memberlakukan
UU bidang ekonomi yang diinginkan maka negara atau lembaga keuangan
internasional terkait akan mengenakan sanksi. Sanksi dapat berupa penghentian
fasilitas, ditundanya pemberian utang, bahkan memasukkan Indonesia kedalam
black list dan lain sebaginya. Cara terakhirnya ini sering dilakukan dalam
kaitan dengan UU bidang HKI.
a.
Melindungi
Investor
Negara
donor dan lembaga keuangan internasional mempengaruhi pemerintah Indonesia
untuk memberlakukan UU bidang ekonomi dengan tujuan untuk melindungi investasi
yang dilakukan oleh para pelaku usaha mereka. Hal ini merupakan suatu hal yang
wajar mengingat perlindungan bagi investor asal negara donor didasarkan pada
kewajiban setiap negara untuk melindungi individu dan badan hukum yang menjadi
warga negaranya. Kewajiban ini muncul dalam konteks hukum internasional.
Disamping itu, sebagai pembayar pajak para pelaku usaha berhak mendapat
perlindungan dari negaranya.
Perlindungan
terhadap investor dilakukan pada saat para investor tidak mempunyai posisi
tawar (bergaining position) yang
seimbang bila berhadapan dengan negara penerima investasi. Para investor
biasanya akan menyampaikan keluhan mereka kepada negaranya dan negaralah yang
kemudian berhadapan dengan negara penerima investasi.
Mengingat
negara asal investor umumnya adalah negara maju yang memiliki andil juga dalam
lembaga keuangan internasional maka mereka dapat mempengaruhi pemerintah
Indonesia secara langsung ataupun melalui lembaga keuangan internasional.
Lembaga keuangan internasional kerap digunakan oleh negara maju untuk “memaksa”
negara yang bergantung pada lembaga keuangan internasional untuk melakukan
perlindungan bagi investor mereka.
Kebijakan
pemberlakuan ini biasanya tidak terungkap dalam konsiderans menimbang maupun
penjelasan umum dalam UU. Kebijakan pemberlakuan ini sangat tercrmin dalam
perumusan pasal UU.
Sebagai
contoh, pasal-pasal dalam UU Kepailitan lebih condong melindungi kreditur
daripada debitur. Bahkan tidak adanya pasal yang mensyaratkan pihak yang hendak
dipailitkan harus dalam keadaan tidak sehat mengindikasikan UU Kepailitan lebih
berpihak pada kreditur asing.
Perlindungan
kreditur asing tidak terlepas dari kenyataan bahwa pada saat krisis ekonomi yang
dialami oleh Indonesia, kepentingan kreditur asing-lah yang menjadi perhatian
utama dari negara pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional.
Perlindungan ini diberikan mengingat di Indonesia tidak ada mekanisme yang
efektif bagi proses kepailitan bila penyelesaian utang diluar pengadilan
mengalami jalan buntu.
b.
Membuka
Akses Pasar Indonesia Lebih Luas
Bagi
negara maju, negara berkembang adalah pasar yang sangat potensial bagi barang
dan jasa yang dihasilkan oleh para pelaku usahanya. Tidak sedikit negara maju
yang menggantungkan perekonomian nasionalnya pada investasi yang dilakukan oleh
pelaku usahanya diluar negeri. Namun permasalahannya yang sering dihadapi oleh
pelaku usaha negara maju adalah pasar dari negara berkembang kerap sangat
tertutup. Tertutupnya pasar negara berkembang bisa bermacam-macam, muali dari
alasan proteksi industri dalam negeri hingga pemberian keistimewaan bagi pelaku
usaha lokal yang dekat dengan elit kekuasaan. Untuk itu sejumlah kiat dilakukan
oleh negara maju untuk membuka akses pasar negara berkembang.
Salah
satu dari kiat tersebut adalah mempengaruhi pemerintahan negara berkembang
untuk membuat UU bidang ekonomi yang berorientasi pada pasar. Orientasi
demikian akan memberi peluang kepada pelaku usaha dari negara maju untuk
memperoleh akses pasar negara berkembang.
Indonesia
bukanlah merupakan pengecualian dimata negara maju. Negara yang menghendaki
agar akses pasar Indonesia yang relatif tertutup, dibuka lebih luas.
Tertutupnya pasar di Indonesia bukan karena proteksi industri dalam negeri,
melainkan lebih karena pemberian kepada pelaku usaha lokal yang dekat
dengannya. Keistimewaan yang didapat oleh para pelaku usaha tertentu ini
dikuatkan dengan peraturan perundang-undangan.
Tidak
heran bila negara donor ataupun lembaga keuangan internasional akan
mempengaruhi pengambilan keputusan di Indonesia untuk memberlakukan UU bidang
ekonomi yang berorientasi pada ekonomi pasar. Kebijakan pemberlakuan ini
biasanya tidak dicerminkan secara kasat mata, sepertidalam konsiderans menimbang
maupun penjelasan umum UU. Kebijakan pemberlakuan ini cukup diterjemahkan dalam
pembentukan suatu UU dan perumusan pasal.
Sebagai
contoh, disamping untuk mengefisiensikan perekonomian Indonesia, sebenernya UU
Persaingan Usaha dimanfaatkan oleh para pelaku usaha asing untuk melakukan
penetrasi pasar Indonesia. Dengan memperkenalkan UU Persaingan Usaha maka ini
secara tidak langsung akan menghapuskan praktik monopoli yang diberikan oleh
pemerintah pada segelintir pelau usaha di Indonesia.
c.
Melakukan
Harmonisasi Hukum Indonesia
Dari
prespektif negara maju, harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu
hal penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjurus pada keseragaman dibidang
infrastuktur hukum akan berdampak pada kenyamanan untuk berinvestasi dari
pelaku usaha negara maju dinegara berkembang. Ini penting di era dunia yang
tidak mengenal batas dan transaksi lintas batas yang memerlukan pengaturan
hukum.
Keinginan
untuk mengharmonisasikan hukum juga dituntut oleh negara maju dan lembaga
keuangan internasional terhadap hukum Indonesia, utamanya yang terkait dengan
masalah ekonomi. Substansi UU yang diberlakukan di Indonesia dengan demikian
akan menyerupai apa yang ada diberbagai negara maju.
Ada dua cara agar
Indonesia mau melakukan harmonisasi hukumnya. Pertama adalah Indonesia secara
suka rela mengadopsi model law yang
dikeluarkan oleh berbagai organisasi internasional. Sebagi contoh dalam
penyusunan RUU Telematika yang segera akan dibahas oleh DPR digunakan Model
Law dari United Nations Comitte on International Trade Law (UNCITRAL) yaitu Electronical Commerce dan Electronic
Signatures.
Cara kedua adalah
dengan pemanfaatan bantuan finansial dan ahli dari negara maju. Indonesia akan
mendapat bantuan cuma-cuma dalam perancangan suatu UU yang diinginkan untuk
terjadi harmonisasi. Para ahli asing biasanya akan bekerjasama dengan ahli
Indonesia dalam menyiapkan rancangan UU ini yag diharapkan disahkan oleh
pembentu UU.
Dalam mempengaruhi
pembentuk UU untuk menuju harmonisasi hukum Indonesia, kesan bahwa terjadi
westernisasi hukum Indonesia tidak dapat dihindari. Memang harmonisasi akan
mengarah pada westernisasi. Namun demikian westernisasi hukum bukanlah hal baru
mengingat westernisasi hukum sudah pernah dilakukan. Ini terjadi pada saat Eropa
melakukan kolonialisme dam imperealisme terhadap negara-negara di benua Asia,
Afrika, Amerika, dan Australia. Sebagai akibat saat ini hampir tidak ada negara
di dunia yang meiliki hukum tanpa pengaruh dari Eropa.
d.
Memastikan
Pembayaran Utang
Permintaan negara
pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional untuk memebrlakukan UU
bidang ekonomi juga dilakukan dalam rangka memastikan pembayaran utang
Indonesia. Alasannya, infrastuktur hukum yang semakin ramah dengan investor
akan meningkatkan jumlah investaso asing dan mengefisiensikan perekonomian
Indonesia. Perekonomian Indonesia yang membaik dan stabil pada gilirannya akan
berpengaruh pada pembayaran utang oleh Indonesia.
Negara donor dan
lembaga keuangan intensional bertindak mirip seperti bank dalam membeikan
fasilitas kredot kepada debitur. Bank biasnaya tidak begitu saja memberi
fasilitas kredit melainkan akan meminta proposal yang berisi rencana penggunaan
uang sampai dengan bagaimana utang akan dicicil. Bank juga mempunyai hak untuk
mengintervensikan atas apa yang dilakukan oleh debitur. Dalam konteks inilah
negara donor dan lembaga keuangan internasional kerap melibatkan diri dalam
urusan Indonesia, termasuk dalam pembentukan UU dan substansi yang diatur dalam
UU tersebut.
e.
Merespons
Kebutuhan Masyarakat.
Dalam berbagai
kesempatan negara donor ataupun lembaga keuangan internasional tidak akan
secara terbuka mengungkap kepentingan sebenernya dalam mempengaruhi pemerintah
suatu negara untuk membentuk suatu UU. Mereka akan membungkus kepentingan tersebut
dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah demi kebaikan dan kebutuhan
masyarakat dari negara tersebut. Ini juga terjadi di Indonesia.
Dengan mengatakan
perlunya membentuk suatu UU bidang ekonomi sebagai kebutuhan masyarakat negara
donor meupun lembaga keuangan internasional terhadap apa yang mereka kehendaki
dapat diterima oleh pemerintah maupun rakyat Indonesia. Hanya saja belakangan
ini justru sebalikny yang terjadi. Bahkan keberadann negara donor maupun
lembaga keuangan internasional dijadikan platform kampanye oleh para polotisi.
Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar