D.
MASALAH
DALAM MENERJEMAHKAN POLITIK HUKUM KEDALAM PRODUK HUKUM
Keberhasilan dalm
menerjemahkan politik hukum akan berpengaruh dalam tahap implementasi dari UU
dan pasal-pasalnya. Dari hasil penelitian terhadapa UU bidang ekonomi ternyata
lemahnya hukum di Indonesia tidak disebebkan semata-mata pada permasalahan yang
ada dalam tahap implementasi. Permasalah juga muncul pada tahap pembentuan UU (law making process). Tahap ini adalah
tahp sebelum UU diundangkan. Berikut akan dibahas beberapa permasalahan yang muncul.
A. Konflik Penentu Politik Hukum dalam
Pembuatn UU
Sumber permasalahan
pertama yang dapat diidentifikasikan adlah adanya ketidak tegasan pembentuk UU
dalam penentu hukum, terutama Kebijakan Pemberlakuan. Ini terjadi bila antara
Presiden dan DPR terjadi ketidaksesuaian, bahkan sering pula terjadi di tingkat
departemen pada saat rancangan UU dipersiapkan. Ketidaktegasan juga terjadi
pada tingkat fraksi yang ada dalam DPR. Sulitnya menentukan politik hukum
karena adanya perbedaan kepentingan. Contoh kongkrit adalah UU Ketenagakerjaan
dimana terddapat pertentangan kepentingan yang berasal dari faktor internal dan
faktor eksternal. Merespons kebutuhan masyarakat iklim yang kondusif bagi
investasi.
Dalam hal ini
ketidaksesuaian dalam penentu politik maka pembentuk UU menyelasikan melalui
dua cara. Pertama adalah dengan cara penentu pemenang. Apabila ketidaksesuaian
terjadi antara presiden dan DPR maka ini sangat berganung dari tarik ulur ini.
Artinya rakyat menjadi tolak ukur untuk menentukan siapa yang akan keluar
sebagai pemenang. Apabila ketidaksesuaian terjadi dilingkungan eksekutif maka
penentu kebijakan pemberlakuan akan diserahkan kepada presiden. Sementara
ketidaksesuaian yang terjadi ditingkat fraksi, pemungutan suara yang akan
menyelesaikan.
Cara kedua untuk
mencapai kesepakatan pada suatu ketidaksesuaian adalah dengan membuat perumusan
oasal yang menampung semua keinginan. Cara inilah yang sering berlaku dalam
pembuatan UU dan perumusan pasalnya di Indonesia.
Penggunaan cara kedua
sebenarnya berdampak kurang baik dalam tahap implementasi. Pertama, pasal yang
bersifat kompromistis merupakan pasal yang mengambang. Pasal demikian sulit
untuk dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum. Ujung-ujungnya pasal
mengambang akan sangat ditentukan oleh penafsiran dari aparat penegak hukum
dilapangan. Bila diserahkan kepada pelaksana UU ini akan berakibat pada tidak
adanya kepastian hukum. Pelaksana UU akan menafsirkan sesuai dengan
kepentingannya. Bahkan bukan tidak mungkin ini dijadikan sarana untuk melakukan
tindakan tidak terpuji, seperti pemerasan dan korupsi. Disamping itu perumusan
pasal yang mengambang sangat tidak konsisten dengan sistem kodifikasi yang
dianut oleh Indonesia. Sistem kondifikasi mensyaratkan perumusan pasal yang
sangat elaboratif dan jelas sehingga tidak memerlukan interpretasi dari
pelaksana UU.
Kedua kompromi juga
dilakukan dengan cara menyerahkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah. Praktik ini seolah memberi cek kosong kepada presiden untuk bebas
menafsirkan keberlakuan suatu ketentuan dalam UU berdasarkan peraturan
pemerintah atau keputusan presiden. Bahkan, penyerahan keperaturan
perundang-undangan yang lebih rendah bukannya menyelesaikan masalah tetapi
menambah masalah mengingat peraturan pemerintah kadang membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk dikeluarkan.
Ketidaksesuain juga
dapat memunculkan tidak konsistensinya antara politik hukum yang ditetapkan dan
terjemahnya dalam bentuk perumusan pasal. Ini terjadi bila ada pertentangan
antara kebijakan pemberlakuan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. UU atau
perumusan pasal memang dibuat tetapi UU tersebut tidak dimaksudkan untuk
berlaku dalam kenyataan.
Contoh yang mungkin
bisa dikemukakan adalah UU Anti Pencucian Uang. Munculnya UU Anti Pencucian
Uang lebih dipicu oleh kebutuhan faktor ekstrenal dari pada faktor internal.
Dapat dikatan pembentuk UU tidak melihat urgensi bagi Indonesia intuk memiliki
UU ini, bahkan merasa tidak ditekan untuk mengeluarkannya. Tidak heran bila UU
dibentuk tetapi pada saat diberlakukan tidak dapar diimplementasikan. Indikasi
yang mengarah hal tersebut adalah penetapan batasan uang yang patut dicurigai
sebagai uang hasil kejahatan yaitu sebesar RP 500 juta. Jumlah ini terlalu
besar sehingga menjadikan UU Anti Pencucian Uang tidak efektif untuk diimplementasikan.
Di sini seolah Indonesia sekedar mengikuti apa yang dikehendaki oleh faktor
ekstrenal tetapi secara nyata tidak mengikutinya.
Masalah lain dalam
pembuatan UU terkadang kebijakan dasar harus dikalahkan oleh kebijakan
pemberlakuan. Ini berakibat UU yang dibentuk menjadi aneh bila dibandingkan
dengan UU serupa diluar negeri. Contoh paling kongkrit adalah UU Kepailitan.
Dalam UU Kepailitan, persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit berdasarkan
pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan hanya ada dua, yaitu apabila terdpat dua utang
dan salah satunyatelah jatuh tempo. Apabila ini yang menjadi rujukan maka
meskipun seseorang atau suatu perusahaan dalam keadaan sehat tetapi karena
sesuatu alasan tidak mau membayar utang kepada krediturnya maka perusahaan tersebut
bisa dimintakan untuk pailit.
Pernyataan muncul,
apakah memng benar perusahaan yang sehat bisa dipailitkan karena ia memiliki
utang lebih dari satu dan salah satunya telah jatuh tempo? Jelas persyaratannya
yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) sangat bertentangan dengan Kebijakan
Dasar UU Kepailitan. UU Kepailitan secara umum digunakan bagi debitur yang
berada dalam keadaan tidak ada lagi mampu membayar utang. Apabila demikian,
pernyataannya menagapa perancang UU Kepailitan membuat sedemikian rupa? Dugaan
jawaban atas pernyataan ini adalah karena pada saat itu ada keinginan dari IMF
atau pihak yang mempengaruhi IMF untuk memudhkan kreditur asing melakukan
proses kepailitan. Ini didasarkan pada kenyataan utang jangka pendek swasta
Indonesia kepada kreditur asing per Desember 1997 sejumlah sekitar US$ 82
miliar. Bila utang ini jatuh tempo dan tidak terbayarkan sementara mekanisme
kepailitan yang ada tidak memungkinkan secara mudah kreditur mendapatkan
kembali investasinya ini diperkirakan akan menggangu stabilitas perekonomian Indonesia
dan lebih penting adalah kepentingan dari para kreditur asing.
Kebijakan oemberlakuan
berupa perlindungan terhadap investor atau kreiditur asing dianggap lebih
pentng daripada kebijakan dasae sehingga tercermin dalam Pasal 1 (1).
Sayangnya, polotik hukum ini tidak iikuti oleh aparat aspek hukum. Para hakim
menentang pemberlakuan tersebut. Mereka mengkhawatirkan bahwa dengan proses kepailitan yang akan
terjadi adalah meindahkan aset milik Indonesia menjadi milik asing. Belum lahi
lembaga peradilan yang bisa dimanipulasi sedemikan rupa. Ujung-ujungnya pasal 1
(1) meskipun telah mencerminkan kebijakan pemberlakuan yang diinginkan namun
gagal dalam implementasinya.
Anehnya kini UU
Kepailitan lebih populer digunakan untuk memaksa pihak yang karena datu dan
lain hal dianggap berutang utnuk membayar utangnya. UU Kepailitan lebih
diguanakan untuk memaksa debitur membayar utang meskipun debitur tersebut dalam
posisi sehat. Jelas ini tidak sesuai dengan kebijakan dasar dari UU Kepailitan
berupa membebaskan debitur yang sudah tidak lagi dapat membayar utangnya dan
memfasilitasi kreditur untuk mengambil kembali haknya dari debitur.
Bahkan, pertikaian
antara pemegang saham bisa berujung pada proses kepailitan seperti kasus yang
menerpa PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI). Demikian pula dengan
pemutusan kontrak, seperti permohonan pailit PT Unilever Indonesia Tbk.
(Unilever). Perkara lain adalah masalah wanprestasi yang berujung pada
permohonan kepailitan, seperti permohonan pailit PT Monderland Realty Tbk.
(Monderland) dan PT Indonesia Airlines Avipatira (Indonesian Airlines).
B. Kekurangan Perancangan UU
Perancangan UU meiliki
peran sangat penting dalam memastikan agar politik hukum dapat diimplementasika
pada saat UU berlaku. Cara memastikan ini adalah dengan merumuskan politik
hukum ke dalam perumusan pasal dan ayat sejelas dan seakurat mungkin.
Apabila politik hukum
telah ditetapkan maka menjadi tugas dari perancangan UU untuk menuangkan
politik hukum tersebut kedalam bentuk perautran perundang-undangan dan
kalimat-kalimat hukum. Sebagai contoh apabila telah ditetapkan dalam UU Pasar
Modal hendak dimuat ketentuan modern, seperti Good Corporate Governance, tugas perancang adalah bagimana konsep
tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pasal yang operasional. Perumusan pasal
sangat penting mengingat aparat penegak hukum nantinya tidak akan merujuk pada
konsep melainkan melihat pada perumusan pasal.
Beberapa kelemahan UU
bidang ekonomi terjadi pada saat konsep tertentu hendk dijadikan kalimat hukum.
Alasan yang menjadi pemico ada beberapa, di antaranya ketidakcukupan waktu,
perancangam UU tidak memahami sepenuhnya kebijakan dasar maupun pemberlakuan
dari UU yang hendak dirancang atau kurang cermat dalam merumuskan pasal, bahkan
pemahaman yang kurang baik dari perancang terhadap suatu konsep juga
ditenggarai sebagai penyebab. Kelemahan ini berakibat pada perumusan pasal yang
berlainan dengan politik hukum yang diinginkan.
Bila terjadi hal ini
dapat berakibat fatal karena pada waktu diimplementasikan UU tersebut tidak
operasional atau bisa secara “bebas” digunakan oleh para aparat penegak hukum.
Upaya untuk memperkecil kemungkinan ini adalah dengan memberikan penjelasan
baik di penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Sayangnya penjelasan,
sebagaimana yang sering dikritik, bukannya memberi penjelasan tetapi justru
menimbulkan kebingungan. Bahkan dalam beberapa hal penjelas justru meruduksi
atau memperluas apa yang diatur dalam pasal.
Perumusan ppasal yang
tidak mereflesikan politik hukum tidak semata-mata bisa ditimpakan pada
perancangan UU. Kurang akuratnya perumusan pasal juga disebebkan karena anggota
DPR yang kadang turut dalam perumusan pasal. Intervensi anggota DPR tidak bisa
ditolak oleh perancang profesional mengingat kedudukan dari perancang yang
lebih infertor dari anggota DPR.
Anggota DPR tidak
semestinya turut dalam perumusan pasal mengingat dibutuhkan keahlian tersendiri
untuk bisa menjadi perancangan peraturan perundang-undangan. Tugas dari para
anggota DPR adalah menangkap aspirasi dan mengambil keputusan sehubungan dengan
politik hukum yang akan dimuat dalam UU.
Kurang akuratnya dalam
merumuskan pasal, dalam tahap pelaksanaan berakibat pada pengkait-kaitan pasal
terhadap suatu kasus yang tidak memiliki relevansi dengan kebijakan dasar.
Misalnya saja dalam kasus pidana sehubungan dengan nama domain mustikaratu.com.
penuntut umum menggunakan pasal 19 huruf UU Persaingan Usaha untuk menjerat
perbuatan curang. Penggunaan pasal ini sebenarnya tidak tepat mengingat yang
menjadi sengketa tidak terkait dengan masalah perilaku pelaku usaha dalam
kaitan dengan pangsa pasar. Sementara perbuatan curang dalam kasus Mustika Ratu
adalah perbuatan curang satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain tapa
mempunyai keterkaitan langsung dengan pasar. Ini yang diatur dalam Pasal 382
bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kelemahan lain adalah
perancang UU tidak memperhatikan infrastuktur pendukung pada saat
menterjemahkan kebijakan pemberlakuan kedalam UU. Pembuatan UU seolah dilakukan
bukan dalam alam ataupun konteks Indonesia. Ini dapat terjadi karena tiga hal.
Pertama, bila perancang UU atau mereka yang menentukan arah UU beranggapan UU
dapat menyelesaikan suatu maslah dengan membuat pasal yang bertentangan dengan
apa yang terjadi dimasyarakat. Kedua, pembuatan UU tidak dilakukan dengan
perencanaan yang baik, mulai dari kajian terhadap infrastuktur pendukung hingga
mengantisipasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaanya. Ketiga,
infrastuktur pendukung terabaikan bila rancangan awal UU dibuat oleh ahli dari
luar yang tidak berlalu paham dengan kondisi Indonesia.
E.
PENUTUP
Politik hukum di
Indonesia dapat dibedakan dalam dua dimensi, yaitu kebijakan dasar dan
kebijakan pemberlakuan. Kebijakan pemberlakuan merupakan dimensi politik hukum
yang sering dilupakan. Dalam proses pembentukan UU kebijakan pemberlakuan
sangat penting mengingat harus diterjemahkan ke dalam UU itu sendiri dan
perumusan pasal.
Dari penelitian yang
dilakukan terhadap UU bidang ekonomi, paling tidak, ada 14 ragam kebijakan pemberlakuan.
Dari kesebelas ragam kebiajakn pemberlakuan ini, dua lebih bertujuan untuk
memnuhi formalitas, yaitu demi tujuan pembangunan nasional dan merespons
kebutuhan masyarakat.
Berbagai permasalahan
yang timbul dalam tahap pembentuk UU telah terbukti sebagai penyebab dari
kurang berjalannya hukum di Indonesia sebagaimana yang diharapkan. Pembenahan
perlu dilakukan tidak saja pada tahap pembuatan UU, utamanya yang terkait
dengan kebijakan pemberlakuan.
Endah Kustia Rini ( 22211430) / 2EB09
Fakultas Ekonomi
2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar